Senja Di
Halmahera Island (CERPEN)
Oleh : Tri Aji
Pamungkas Al-Azhary
Dibuat sesaat sebelum semuanya gelap
Di Halmahera, 3 tahun lalu
Sebaris bangau terbang pulang ke sarang, disusul senja
dan badai gulita mengupas rekah-rekah kulit semesta
digaris cakrawala, lalu
semesta menggulita memaksa petani membasuh kulit
berlulur lumpur. Lalu kau
datang membubarkan kerumunan dandelion, memaksa
makhluk-makhluk mini itu mengelus
lembut pipiku. Kau lalu duduk disampingku, dihamparan
rerumputan yang luas, menikmati
senja yang
perlahan merah bata tanpa adonan lampu kota. Sempurna.
“tak ada senja yang lebih bersahaja dari Halmahera”.
Ucapnya, lalu duduk tepat disampingku. Aku menatapnya
sebentar, lalu kembali
menatap
kedepan
“haha, belum pernahkah kau mendengar tentang senja
Alexandria?
“Senja disana tak utuh” ucapnya sedikit sarkastis.
“apa maksudmu?” aku menatapnya sejenak.
“Gedung-gedung pencakar langit sudah mencakar-cakarnya
menjadi tak
beraturan”
Aku tertawa pelan, selalu kalah aku dengannya.
“aku tak sedang melucu” ucapnya, lalu aku diam.
“bukanya kau tak sedang serius?”
Ia menggumam.
“tak ada yang perlu ditertawai atau diseriusi”
Lalu dia mengambil ponselnya, menunjukan sebuah foto
seorang lelaki bercambang bawuk dengan kacamata tebal.
Wajahnya kebule-bulean,
hidungnya runcing, wajahnya seperti tak pernah
tersentuh lumpur. Jauh berbeda
denganku.
“Dia tampan bukan?”
rupanya dia wanita yang selalu
menuntut
ketegasan.
“Dia lebih tampan dariku”
Sejak awal aku sudah sadar, bahwa kita adalah langit
dan
bumi. aku memberi anggukan berat dan senyum palsu.
Hanya itu yang sanggup
kuhadiahkan
untuk kebahagiaannya.
“sepertinya aku pernah melihatnya” Ucapku lagi.
“Dia sering muncul dikoran-koran” dia menegaskan
dugaanku.
“iya, aku ingat sekarang”
“aku tak perlu menjelaskanya padamu jika begitu”
ucapnya,
ia menoleh kepadaku lalu kembali menatap foto
berukuran buku nota itu. ia
tersenyum
tipis, bukan padaku. Tapi foto itu.
“Maukah kau menjadi pager bagus bulan depan?”
“bukanya aku sudah bilang seminggu yang lalu?”
“seharusnya, kau menunda kepergianmu”
Aku tak menjawab, kusiluetkan wajahku pada senja. Agar
tak kau
lihat wajahku yang luka.
***
Suatu senja di Alexandria
Tak ada yang lebih hambar dari teh manis bertabur
jingga
senja Alexandria, diaduk dingin angin laut yang
memagut. Dari lantai 13 flat tempatku tinggal, senja
bersemburat kuning gading mengubah warna
dinding-dinding langit, juga
dinding-dinding gedung pencakar langit . Aku kembali
teringat perkataannya,
‘Gedung-gedung pencakar langit sudah merobek-robeknya
menjadi
sepotong-sepotong’
ternyata benar, setiap hari aku menyaksikanya.
Nun jauh disana tampak jajaran lampu kota,
menyiluetkan sebaris
pepohonan disepanjang jalan. Juga membuat setiap wajah
seperti diterpa semburat
senja. Ah, aku tak pernah percaya dengan senja
Alexandria. Mungkin saja hanya
kompilasi keduanya. ‘senja imitasi’ ucapku lirih.
Benar katanya tiga tahun
lalu, tak
ada yang lebih sempurna dari senja Halmahera.
Aku selalu merindukan bangau datang bersama senja,
merindukan siluet jajaran trembesi yang tertunduk
terkantuk-kantuk.
merindukan
burung sawah berkicau indah. Merindukanya.
“ Di Alexandria tak ada bunga ilalang yang datang
bersama
senja” ucapnya waktu itu. tanganya terus menerbangkan
bunga ilalang yang telah
kering.
“Jangan menakutiku, aku malah penasaran dengan senja
dengan taburan pasir” aku tersenyum tipis, aku sedang
meyakinkan diriku sendiri
bahwa senja
dengan taburan pasir itu tak begitu buruk.
“aku tak yakin kau menyukainya” ucapnya menyangkal
argumenku.
“aku yakin bisa belajar mencintainya” ucapku,
perkataanya
sepertinya
benar.
“lalu bagaimana dengan bunga dandelion?”
“aku rasa disana juga tak tumbuh”
“aku harap Begitu, agar kau tak berani kesana” ucapnya
waktu itu.
kau tersenyum bulan sabit.
Lalu menatapku lekat, bibirnya nampak pucat oleh gincu
polesan
senja. Aku menatapnya sejenak, lalu kembali menatap siluet dedaunan ketapang.
“Kau tahu keistimewaan dandelion?” ucapku, seraya
memperhatikan
rambut sepunggungnya tertiup angin perlahan.
“kau tahu?” dia balik bertanya.
“Meskipun kecil, ia berani terbang keangkasa. Lalu
jatuh
dipulau dan
berani tumbuh sebatangkara” ucapku meyakinkanya.
“aku tak mengerti kenapa kau tiba-tiba bercerita
tentang
dandelion”
ucapnya, lalu menatapku.
“ aku kira kau cerdas” ucapku sarkastis.
“aku mengizinkanmu,
aku tahu
sekarang maksudmu”
“terimakasih, aku tak selamanya disana” ucapku, lalu
kuambil
nafas dalam-dalam dan mengeluarkanya perlahan.
“aku akan sangat merindukan senja ini, juga dirimu”
“aku mungkin akan lebih darimu, karena tanpa senja
ini” lalu
ku tatap wajah bulan purnama dengan hiasan bola mata
yang indah di balut dua kaca penghalang keduanya dan bibir tipis miliknya,
serta muka merah di balut kerudung kuning yang di kenakanya serasa Ratu tursina
dari Viena yang mengunjungi sultan Barbasa sehingga ia mengenakan kerudung di
kepalanya .
“aku rasa
ini senja terakhir kita” lanjutku.
“kau boleh berbicara begitu ketika kita sama-sama
diusia
senja”
“semoga kita tidak sibuk dengan cucu kita
masing-masing”
“aku harap cucunya adalah juga cucuku” ucapku dalam
hati.
Aku baru saja membaca surat nya ketika jubah malam
terbentang, kini aku bisa membedakan mana kuning senja
dan mana kuning lampu
kota. Mana harapan, dan mana ketidak pastian. Aku
menghela nafas, kuusap
wajahku dengan kedua telapak tangan. Lalu masuk
kedalam, karena udara disini
berbanding
terbalik ketika malam.
***
Halmahera, 06.30
Seusai menikmati sepiring nasi dan oseng-oseng tempe
lombok ijo buatan ibu, aku segera melepaskan kemeja
dan celana hitamku. Lalu
berganti dengan kaos oblong yang berlubang kecil
dibagian pundaknya. Mengenakan
sendal jepit dengan serampat yang antara kanan dan
kiri berbeda warna, lalu
mengayuh
sepeda onthel kepunyaanku waktu masih di pondok,
aku menyukai hal seperti ini.
Aku mendapati
senja yang kurindukan sudah tercabik gedung pencakar
langit. Tak ada lagi siluet
ketapang, trembesi, dan wajah gelap para petani
memikul seikat rumput untuk
ternak. Semuanya telah berubah menjadi jajaran lampu
kota yang menyiluetkan
seribu wajah. Hanya sesekali kulihat rombongan bangau
terbang membentuk huruf
V, lalu menghilang dibalik keremangan. Tanpa
dandelion, tanpa bunga ilalang.
Semoga tidak
tanpanya.
Lalu dia datang dengan menggendong balita berumur
sekitar
satu tahunan, rambutnya dikepang dua menyerupai
tanduk. Lalu dia duduk melipat
kaki keatas,
dagunya kau sandarkan diatas lutut. Matanya nanar berbalut senja.
“seharusnya aku tak pulang” ucapku saat dia selesai
merapikan rambutnya yang tergerai bebas, merapikan
pakaian balita yang tadi
digendongnya.
“maafkan aku, aku tak bisa berbuat apa-apa”
“ini pasti ulah lelaki yang sering muncul dikoran itu”
aku
mendengus.
Ia hanya mengagguk pelan.
“siapa namanya?” ucapku. memandang gadis mungil yang
tengah ikut
duduk diantara kami.
“Cahyaningtyas, cantik
bukan?” tanyanya.
Aku mengangguk
lalu
tertawa
getir, mengingat tiga tahun lalu dia menanyakan hal yang sama padaku.
“kau sangat
beruntung memilikinya” ucapku seraya memainkan gadis
mungil yang baru bisa
mengeja mama
papa itu.
Kau mengangguk, mengelus pipi gadis kecil itu lalu
kembali
menikmati sepotong senja
“katakan padanya, bahwa pernah ada senja sempurna
disini”
“sepertinya dia akan lebih percaya pada dongeng Beauty
and the
beat” ia lalu memainkan rerumputan dibawah kakinya.
“ semoga tak begitu” ucapku pendek.
“akupun berharap demikian”
Diujung barat langit tampak kuning kemerahan. Dedaunan
kelapa yang tadinya hijau kini tampak gelap tanpa gerak. Senja merah bata tengah
menguasai cakrawala. Aku duduk menekuk lutut kedada,
mengikuti posisi duduknya.
“bagaimana kabar ayahnya?” aku memegang tangan gadis
kecil yang
duduk diam diantara kita, kumain-mainkan tanganya.
“Dia
meninggalkanku” ucapnya singkat. Dari keremangan
tangannya tampak mengusap
ujung hidungnya yang runcing dengan punggung
tangannya. Lalu menelan ludah perlahan,
kemudian
mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan.
“bukanya ia sangat mencitaimu? Katanya?” ucapku, aku
kembali
menatap wajahnya.
“Burung nuripun bisa beruap demikian”
“dia memiliki alasan untuk itu?” aku menatapnya.
“tentu saja”
“bukankah cinta tak butuh alasan”
“kita bukan lagi remaja, tentunya kau tahu itu”
ucapnya.
Jika matanya
mempunyai mulut, mungkin sudah ditelanya aku.
“tapi cinta tak mengenal umur”
“kau belum menikah?” ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya menggeleng, kaulah satu-satunya yang kuharap
bersamaku diufuk usia senja. Ucapku dalam hati.
Aku menatapnya
dengan ekor
mataku, lalu kembali menatap mentari yang hampir
tenggelam dibalik jajaran
pohon
kelapa.
“apa kau menungguku?” ucapnya. Lalu menatapku.
Aku tergagap gugup. Keringat dingin tiba-tiba datang
membanjiri keningku, kuusap perlahan dengan punggung
jariku. Kusamarkan dengan
menghindari
tatapanya.
“ bagaimana kau bisa berfikiran seperti itu?”
“kau pernah menulis sesuatu disitu?” kau menunjuk
pohon
randu yang
sebesar tong aspal.
Aku kembali teringat tiga tahun lalu.
Aku pernah menulis
namaku dan Fauziah pada pohon
randu yang dulunya hanya seukuran paha balita itu.
Ukuran tulisan itu terlalu kecil untuk dilihat dari
sini, seingatku tulisan itu
hanya
seukuran paku atap tiga sentian. Tapi bagaimana ia bisa mengetahuinya.
“kau belum pikun bukan?” ucapnya, ia memang selalu
menginginkan
ketegasan.
Aku tersenyum, lalu mengangguk “aku rasa tulisan itu
terlalu
kecil untuk kau lihat dari keremangan”.
“hahaha, itu dulu. Coba kau lihat ukuran pohon randu
itu
sekarang. Bukanya kulit randu akan ikut membesar
ketika pohonya membesar?
Begitu juga
tulisanmu”
“aku tidak yakin aku pernah sebodoh itu” aku
menertawakan
diriku
sendiri.
Lalu kami sama-sama tergelak, wajahku memerah seiring
langit merah
yang kian mengelabu dengan bebunyian yang semakin gagu.
Aku nyaris tak mampu bergerak ketika merasakan lembut
rambutnya menyentuh pipiku, kepalanya disandarkannya
dipundaku. “kenapa kau
baru mengatakanya sekarang?” ucapnya seketika. Aku
gagu.
Tak mengapa aku
kehilangan
senja, asal aku mendapati usia senjaku bersamanya.
Sehingga Aku bisa berjalan
di ufuk tImur dan Barat dengan karunia Tuhan dalam Hatimu, aku tidak melihat
apa apa dalam dirimu melainkan aku melihat Cinta Tuhan Dalam cintamu ,
Senjamu
memnjadi senja bagi ku .