Antara
Eksistensi Hukum Adat dan Ketepatan Hukum Islam di Nusantara
Oleh : Tri Aji Pamungkas
Indonesia adalah Negara Kepulauan
dengan Jumlah Suku mencapai 1340 Suku Bangsa dari Sabang sampai merauke dan
beragamnya budaya serta adat leluhur yang masih dipercaya di berbagai wilayah
di Nusantara, Selain Itu Indonesia juga di nobatkan sebagai The Great Moeslim
Population dimana salah satu pusat terbesar populasi
muslim Dunia yang disandang negeri pertiwi.
Dengan historical yang panjang
tentang kedatangan agama-agama besar termasuk islam di
era Indra Varma Raja Sriwijaya menambah daftar sejarah
bahwa bumi pertiwi
amat kental dengan keislamanya yang dibuktikan dengan
banyaknya Kerjaan dan Kesultanan Islam di era keemasan Nusantara di Tahun
1200an hingga 1600an Masehi, hal ini tentunya memepengaruhi dari budaya yang
dianut dimana aka nada beberapa akulturasi bahkan campuran budaya yang melekat
dimata para pemangku adat di negeri
pertiwi namun Islam
dengan tegas memberikan konsep yang sangat bijaksana dimana pengaturan
sendi-sendi kehidupan termasuk adat diperkenankan selama tidak melanggar apa
yang telah termaktub dala Al-Aquran dan Assunah sebagai landasan Hidup kita
hingga akhir Kelak.
Dalam tulisan yang sederhana ini
penulis menjelaskan tentang eksistensi Hukum adat di Indonesia dan Konsep Hukum
Adat dalam Islam dimana dalam UN Declaration On The Right Of Indigenous People yang memberikan
pengaturan international tentang hak-hak dasar masyarakat adat Indonesia
merupakan Negara yang memiliki eksistensi Adat terbanyak kedua Setelah Papua
Nuginie, Namun memiliki keistimewaan lebih dengan adanya Pengakuan Yuridis
tentang menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masa hidup
dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara Kesatun Republik
Indonesia yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-undang. Hal ini mencoba
memberikan penerangan bagi penulis
yang akan dijelaskan beberapa contoh adat yang masih eksis di nusantara
sebagai perbandingan dan khasanah keilmuan
tentang hukum adat di Nusantara yang akan menjadi Istinbath dalam Huku
Kata Kunci:
Hukum, Adat, Istinbath dan Eksistensi di Nusantara
Pendahuluan
Sumber hukum Islam yang disepakatai oleh para ulama adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya
merupakan dalil utama kepada
hukum Allah (adillah
al-ahkam al-mansusah), karena
keberadaannya tedapat dalam Nash, Sedangkan dalil-dalil lain
selain al-Qur’an dan Sunnah seperti ijma’, qiyas, istihsan, al- maslahah
al-mursalah, istishab, ‘Urf, shar’u man qablana, dan qaul sahabi dianggap
sebagai dalil pendukung (adillah al-ahkam ghair al-mansusah), yang hanya
merupakan alat bantu untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Karena hanya
sebagai alatbantu untuk memahami al- Qur’an dan Sunnah, sebagian ulama
menyebutnya sebagai metode Istinbat1
Sedangkan‘Urf (adat
istiadat/tradisi) merupakan salah satu metode istinbat hukum Islam yang diperselisihkan
para ulama-, kalangan madhhab Hanafi dan Maliki memandangnya sebagai dalil
hukum, akan tetapi kalangan madhhab yang lain (Syafi’i, Hambali, Dhahiri,
Syi’i) tidak m emandangnya sebagai dalil hukum. Meskipun madhhab Syafi’i tidak
memandang ‘Urf sebagai dalil hukum, akan tetap dalam realitasnya Imam Syafi’i
menggunakan sosiokultur budaya (‘Urf) masyarakat dalam menetapkan sebuah hukum,
hal ini terlihat dengan adanya qaul qadim dan
qaul jadid.lalu bagaimana dengan istilah Hukum adat itu sendiri ?
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan
pertama kalinya oleh Prof. Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang
berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh
Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht
van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial
Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan
perundang-undangan Belanda.2
Istilah hukum adat sebenarnya tidak
dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau
kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan
menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan
sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan
alasan:“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk
menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah
demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan
oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana
peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat
perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai
pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat
masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu
dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum)
dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena
keduanya erat sekali kaitannya.3
1 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2005), 177.
2 Arthur, Schiller A
dan E Adamson Hoebel, Adat Law In Indonesia, (Jakarta, Bhratara1962)
3 Prof,Dr, Van Dijk, R,
, Pengantar Hukum Adat Indonesia,( Bandung, Sumur Bandung. 1982)
Dalam beberapa teori yang salah
satunya Teori Reception in Coplexu yang dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg.
‘’Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum
adat masyarakat yang bersangkutan adlah
hukum agama yang dipeluknya. Kalau
ada hal-hal yang menyimpang
dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai
pengecualian’’.4
Snouck Hurrunye mengungkapkan dalam
teorinya Ia menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan mengatakan bahwa
tidak semua Hukum Agama diterima dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang sifatnya
sangat pribadi yang erat
kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin, bagian-bagian itu adalah hukum
keluarga, hukum perkawinana, dan hukum waris.
Semua tentang hal diatas dibantah
dalam Islam bahwa sejak 1400 tahun yang lalu satu sisi Islam memberikan Akulturasi timbal balik antara
Islam dengan budaya
lokal, dalam hukum
Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi
eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah fikih
yang menyatakan “al-‘adah muh akkamah” (‘Adah itu bisa menjadi hukum), atau
kaidah “al‘adah shari’ah muhkamah” (‘Adah adalah syari'at yang dapat dijadikan hukum).
Hanya saja tidak
semua tradisi bisa dijadikan hukum, karena tidak semua unsur
budaya pasti sesuai
dengan ajaran Islam. Unsur budaya
lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan
dengan ajaran Islam. Dalam kaidah fikih di atas terdapat pesan moral agar
memiliki sikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap
kritis ini yang menjadi perdorong terjadinya transformasi sosial masyarakat
yang mengalami persinggungan dengan Islam. Berdasar kaidah fiqh ini pula, kita
memperoleh pesan kuat bahwa restrukturisasi dan dina– misasi pemahaman
keagamaan Islam hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon
persoalan-per– soalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan terus berkembang.5
Secara etimologi, kata al-‘Adah berarti pengulangan شئ
واالستماررعلي الدءب 6 baik berupa perkataan atau perbuatan. ‘Adah
diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah (المعاودة) yang artinya berulang7 Secara terminologi, ‘Adah adalah sebuah
kecenderungan (berupa ungkapan
atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan
akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat
pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah
dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak
pelakunya.8 “sesuatu
ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang
bisa diterima oleh tabiat (watak) yang sehat” Pendapat Ibnu Nuzaem.9 Di dalam ilmu Islam ada sedikit Persamaan antara Al’Adah dan Al’Urf walaupun
secara subtansional keduanya
memiliki kesamaan di bandingkan perbedaanya sedangkan dalam pengaturan di hukum positif di Indonesia Banyak
pilihan menggunakan istilah Masyarakat Adat atau Masyarakat
4 teori Reception in
Coplexu, Mr. LCW Van Der Berg
5 Prosiding Halaqoh Nasional &
Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Ampel
Surabaya,Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya.
6 Ibn al-Manzur, Lisan
al-Arab (Bairut: Dar Lisan al-Arab,tt), 959/PHN&Seminar International FTK
Papper
7 A. Dzajuli,
Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),78-79
8 Formulasi Nalar Fiqh:
Telaah Kaidah fiqih Konseptual,Abdul Haqim dkk (Surabaya; Khalista, 2009),
9 A. Dzajuli,
Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),79-80
Hukum Adat, Masyarakat Tradisional, Komunitas Adat memiliki implikasi pada saat kita mencoba
menelusurinya dalam dokumen-dokumen peraturan negara Indonesia. Jika kita
menggunakan istilah masyarakat adat, maka kita tidak akan menemukannya dalam
UUD 1945 hasil
amandemen I-IV dan sebagian besar Undang-Undang yang diterbitkan
pemerintah, kecuali dalam UU Sisdiknas No.20/2003 dan UU Kehutanan No.41/1999,
meskipun dalam kedua UU yang dikecualikan tersebut, sama sekali tidak ada pengertian mengenai istilah masyarakat adat. Bahkan dalam UU
kehutanan, pencantuman istilah masyarakat adat ditengarai akibat dari editing
bahasa yang buruk. Dengan demikian, sesungguhnya UU Kehutanan tidak memaksudkan
diri menyebut istilah masyarakat adat dalam pasal-pasalnya Implikasi yang sama
juga terjadi ketika kita menyebut istilah komunitas
adat dan masyarakat tradisional. Jarang sekali
kita menemukan istilah tersebut dalam “UU yang paling
berpengaruh” dalam penyelenggaraan negara. Meskipun istilah Komunitas Adat
dipakai oleh Departemen Sosial dengan menambahkan kata terpencil di
belakangnya. Sementara masyarakat tradisional digunakan dalam beberapa UUD 1945
hasil amandemen I-IV dan tidak ditemukan dalam UU yang lainnya.10
Dengan banyaknya presepsi hukum maka kita akan mengambil beberapa hal yang menjadi
subtatntif terkait dengan Al’Adah Almuhakamah berdasarkan dengan banyak Versi
yang telah di ungkapkan diatas maka terlebih dahulu kita akan mengkaji lebih dalam bagaimana
presepsi dalam Islam yang
diantaranya ulama banyak berselisih apakah Urf dan ‘adah itu sama atau berbeda
ada yang menyatakan bahwa ‘adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan
oleh orang banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh
kebanyakan orang, dan tidak dikatakan ‘Urf apabila suatu kebiasaan yang hanya
terjadi pada individu tertentu ada pula yang menyatakan bahwa ‘Adah bisa muncul
secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat, sedangkan ‘Urf
tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui pemikiran dan pengalaman11lalu ada Pula yang menyatakan bahwa ‘Adah tidak meliputi penilaian mengenai segi baik
dan buruknya perbuatan yang menjadi ‘Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu
memberiakan penilaian pada segala
sesuatu yang menjadi
‘Urf12. Terlepas pro dan kontra
pendapat antara ulama yang menganggap sama atau tidak
antara al- ‘Adah dan al‘Urf karena tidak ada perbedaan yang signifikan terlebih
lagi tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, maka dari beberapa definisi terminologi diatas
secara umum bisa disimpulkan bahwa antara al- ‘Adah dan al-‘Urf dapat dicirikan
menjadi empat unsur, yaitu: Pertama,Hal-hal
(perkataan atau perbuatan) yang dilakukan berulangkali dan telah tertanam dalan
diri. Kedua,Menjadi hal yang lumrah
dan mudah dilakukan, spontanitas atau tidak. Ketiga, Acceptable (diterima sebagai sebuah Apresiasi yang baik).Keempat, Berlangsung terus (Applicable)
dan konstan serta merata atau mayoritas dalam suatu daerah13.
Sedangkan Muhakkamah adalah bentuk
Maf’ul dari Masdar Tahkim yang berarti penyelesaian masalah, jadi al-‘Adah baik
umum atau khusus, dapat dijadikan sandaran penetapan atau penerapan suatu
ketentuan hukum ketika terjadi permasalahan yang tidak ditemukan keten
10 ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat,
Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia
? Asep Yunan Firdaus
2007
11 Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 138-139.
12 Amir Syaifuddin,
Ushul Fiqh., 364.
13 Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh, 139
tuannya secara jelas dan tidak ada pertentangan dengan suatu aturan
hukum yang besifat khusus atau meskipun terdapat pertentangan dengan suatu
aturan hukum yang besifat umum.14
Dasar Kaidah al-‘Adah Muhakkamah sebagai Sandaran (Penetapan atau Penerapan) Hukum
Al-Qur’an
Sebagian ulama melandaskan kehujjahan kaidah ini kepada ayat
Al-Qur’an surat al- A’raf: 199 Yang Artinya:
“Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh”.
Menurut Al-Suyuthi seperti dikutip
Saikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf pada ayat diatas bisa diartikan
sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud disini adalah
adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah
oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al‘urf diartikan sebagai adat istiadat,
maka sangat tidak selaras dengan asbab alnuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan
dalam konteks dakwah yang telah dila kukan Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras dan kasar,
juga kepada orang- orang yang masih lemah imannya15 Sedangkan
Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘adah
muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung dalam
al-Qur an surat AlNisa’ ayat 115 yang artinya
‘’ Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengi– kuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap ke– sesatan yang Telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahan– nam itu
seburuk-buruk tempat kembali’’
Kata sabil merupakan sebuah sinonim
dengan kata tariq yang dalam bahasa Indonesia berarti jalan. Dengan demikian
sabil al-Mu’mini n dalam ayat di atas apabila dilihat dalam kata arab dimaksudkan dengan jalan (etika
atau norma) yang dianggap baik oleh orang-orang mukmin, serta sudah menjadi budaya sehari-hari mereka16.
Dalam ayat lain pula di jelaskan seperti di surat
Almaidah ayat 89 yang artinya : “kaffarat (melanggar sumpah) ialah member
makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
ke– luargamu atau memberi pakaian’’
Kata awsat Jika
dilihat dalam Arabnya
tidak dinashkan ukurannya
dengan ketentuan pasti, maka ukurannya kembali kepada
ukuran adat kebiasaan
makanan atau pakaian
yang dimakan atau dipakai keluarga tersebut.17
14 Ahmad ibn Muhammad Al-Zarqa Sharh
al-Qawa ’id alFiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam,1996), 219.
15 Moh Rifa’i, Ushul Fiqh (Semarang:
Wicaksana, 1984),
16 Menurut
al-Jarhazi, pengarang kitab
Mawahib al-Saniyyah Sharh
Nazm alQawa’id al-Fiqhiyyah,Diambil dari
Jurnal Prosiding Halaqoh Nasional
& Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Ampel Surabaya,Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya
17 A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih
(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),81
Sunnah
Landasan
kehujjahan yang berupa alSunnah yaitu diantaranya :
مااره المسلمون حسنا فهوعندالله حسن و مااره المسلمون
سيئا فهوعندالله سيئ Mas’ud: Ibn diriwayatkan
Hadith
“Sesuatu yang
dipandang baik oleh orang – orang islam maka hal itu baik menurut Allah,
dan sesuatu yang diapandang buruk oleh orang –orang islam
maka hal itu buruk pula menurut Allah”
Menurut al-Ala’ setelah diadakan
penelitian secara mendalam, diketa– hui bahwa
hadis ini adalah bukan Marfu’ akan tetapi perkataan
Ibn Mas’ud (Mawquf)
yang diriwayatkan oleh Ahmad
bin Hambal dalam kitab Musnadnya.18
ان
علي اهل الحلوائط حفظها بالنهار
و علي اهل المواشي
حفظها بالليل
“Pemilik
kebun harus nejaga kebunnya di siang hari dan pemilik ternak harus menjaga
ternaknya di malam hari’’
Penunjukan hadis diatas adalah jika
ternak yang merusak tanaman pada waktu malam, maka pemilik ternak wajib
membayar ganti rugi, karena kebiasaan arab ketika itu adalah semua ternak
dimasukkan ke dalam kandangnya pada malam hari, akan tetapi apabila ternak
tersebut merusak tanaman pada siang hari, maka pemi– lik ternak
tidak mempunyai kewaji–
ban membayar ganti rugi.
Lalu ada Hadis yang diriwayatkan
oleh Jamaah selain al-Baihaqi yaitu perkataan Nabi terhadap Hindun isteri Abu
Sufyan ketika ia mengadukan kekikiran suaminya dalam nafkah keluarga:
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah,
sebagai nafkah yang bisa meme– nuhi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan
lumrah (menurut adat kebiasaan yang berlaku)”
Ijma’
Diketahui bahwa para imam madh– hab
menganggap ijma’ ‘amali (Budaya umum) adalah menjadi landasan kehujjahan
al-‘Urf atau al-‘Adah, dikatakan oleh al-Shatibi19 bahwa
tujuan legislasi yang utama adalah menciptakan dan menjaga kemaslahatan umum,
jika demikian menurutnya adalah tidak
lain dengan memelihara kebiasaan-kebiasaan yang me realisasikan tujuan kemaslahatan atau setidaknya
dengan mempetahankan kebiasaan yang telah lumrah, mereka akan terhindar dari kesulitan
Qiyas / Logika
Alasan kehujjahan al-‘Adah dari qiyas atau logika adalah:
18 A. Dzajuli,
Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),81
19 Ibrahim Ibn Musa
Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul alAhkam Jilid II (Bairut: Da>r al-Fikr,tt),
212
·
Hasil penelitian yang dilakukan ulama, diketahui bahwa banyak diantara
ketetapan hukum yang
menjustifikasi beberapa kebiasaan yang ada sebelum Islam, seperti perjanjian al- Salam, alIstisna’, al-Mudarabah dan jual
beli al‘Araya (jual beli antara kurma basah yang masih belum dipetik dengan
kurma kering)
·
Andai bukan karena keberlangsungan al-‘Adah atau al-‘Urf
niscaya tak akan diketahui asal suatu agama, karena agama diketahui
dengan kenabian, kenabian diketahui dengan kemukjizatan dan dikatakan mukjizat
apabila keluar dari kebiasaan خارق
للعادة
·
Pada
dasarnya penetapan hukum dengan landasan al-‘Adah atau al-‘Urf adalah tidak
berdiri sendiri akan tetapi merujuk pada metodologi penetapan hukum yang
mu’tabarah seperti ijma’. Maslahah dan Dhari’ah disamping banyak ketetapan
hukum yang berubah karena perbedaan situasi dan kondisi.
Selain Itu ada beberapa ketentuan yang memebatasi tentang bagaimana
Hukum Adah bisa berlaku dalam suatu tempat diantaranya :
Ø ‘Adah tidak bertentangan dengan nash shar’i dalam
al-Qur’an atau al-Hadits atau dengan prinsip legislasi yang telah pasti dengan
pertentangan yang mengakibatkan penafian pemberlakuan semua aspek hukum secara
keseluruhan (bukan Al-‘‘Urf al- Fasid), seperti kebiasaan menyerahkan barang
titipan kepada keluarga penitip atau budaya mewakafkan barang bergerak (al-‘Ain
al-Manqul) dan lainnya.
Ø ‘Adah berlangsung konstan
(muttarid) dan berlaku
mayoritas seperti penyerahan mahar dalam perkawinan dalam bentuk kontan atau cicilan
dianggap konstan apabila kenyataan tersebut berlangsung dalam setiap peristiwa
perkawinan di seluruh negeri.
Ø A’dah terbentuk lebih
dahulu dari masa penggunaannya sebagai
pijakan hukum, syarat ini bisa dinyatakan dalam
istilah-istilah yang biasa
digunakan pada waktu mengadakan
transaksi seperti wakaf,
jual beli, wasiat
dan ikatan perkawinan. Seperti istilah “ulama” atau “santri” yang lumrah masa
dulu akan berbeda pengertiannya dengan sekarang, sama halnya dengan nash shar’i yang bisa dipahami
sesuai setting kehadirannya seperti kata fii sabilillah dimaksudkan dengan kemaslahatan
pejuangan dan Ibn Sabil dimaksudkan dengan orang yang habis bekal perjalanannya, ketika ketika tradisi
sudah berubah, maka kata pertama dimaksudkan dengan orang yang mencari ilmu sedangkan
yang kedua dimaksudkan dengan anak hilang.
Ø Tidak terdapat perkataan atau perbuatan yang
berlawanan dengan substansi atau yang memalingkan dari ‘Adah. Contoh kasus,
jika kreditur tidak memberi batasan dalam transaksi hutang piutang tentang
waktu,tempat dan kadar,
maka kebiasaan yang berlaku
akan mengambil alih dalam masalah tersebut atau dalam transaksi jual beli
budaya melemparkan uang pembayaran (al-Thaman) adalah merupakan kesepakatan
terjadinya transaksi selama belum ada tindakan yang menunjukkan sebaliknya.
Identifikasi Penerapan Hukum Adat Di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang akaya akan budaya dan
lekat dengan adat leleuhur atau nenek moyang hal ini didasari karena banyaknya
keberagaman yang terjadi di Indonesia dan
historical yang panjang tentang kebudayaan Nusantara
Menurut Data Statistik di Badan Pusat Statistik per 2010 Indonesia memiliki 300
Suku etnik yang diakui dan 1340 Suku Bangsa20
Daftar Besar
Suku dan Presentase BPS 2010
No
|
Suku Bangsa
|
Populasi(Juta)
|
Presentase
|
Kawasan
|
1
|
Suku Jawa
|
95,2
|
40,2%
|
Jatim,Jateng,Lampung
|
2
|
Suku Sunda
|
36,7
|
15,5%
|
Jabar
|
3
|
Suku Batak
|
8,5
|
3.5%
|
Sumatra Utara
|
4
|
Suku Asal Sulawesi
|
7,6
|
3,2%
|
Sulawesi
|
5
|
Suku Madura
|
7,2
|
3%
|
Pulau Madura
|
6
|
Suku Betawi
|
6,8
|
2,88%
|
Jakarta
|
7
|
Minangkabau
|
6,5
|
2,73%
|
Sumbar,Riau
|
8
|
Suku Bugis
|
6,3
|
2,69%
|
Sulawesi
Selatan
|
9
|
Arab Indonesia
|
5,000
|
2,4%
|
Jakarta,Jabar,Jateng
|
10
|
Suku Banten
|
4,331
|
2,1%
|
Banten
|
11
|
Suku Banjar
|
3,506
|
1,7%
|
Kalimantan Selatan
|
12
|
Suku Bali
|
3,094
|
1,5%
|
Pulau Bali
|
13
|
Suku Sasak
|
2,681
|
1,3%
|
Pulau Lombok
|
14
|
Suku Makasar
|
2,063
|
1%
|
Sulawesi
Selatan
|
15
|
Suku Cirebon
|
1,856
|
0,9%
|
Jawa Barat
|
Selain Itu terdapat pula elemen kecil dari setiap
kelompok yang tidak dimasukan kedalam Kelompok besar menurut jumlah populasi
hal ini terjadi Karena sebagian mengganggap sebagai elemen pendatang saja,
selain itu dapat pula dibagi dalam jumlah pulau atau regional baik dari timur
ke barat dan sebaliknya
20 BPS 2010
Suku bangsa
Menurut Pulau Dioalah Penulis
Ada beberapa data Menarik terkait
dengan penerapan hukum adat di Indonesia diantaranya apabila kita berangkat dari kasus salah
satu adat Suku Naulu yang terletak di daerah Maluku
Tengah sangat membutuhkan
Kajian lebih dalam dikarenakan dalam penjatuhan Pidana oleh hakim yakni pidana mati di adat Ini Membutuhkan Kepala
Manusia sebagai Ritual adat Suku Naulu Sehingga penjatuhan Hukuman di
pengadilan Negeri Maluku tentang Penjatuhan Hukuman Mati21.
Hal Ini mengacu Pada UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 dalam pasal 28 yang menyatakan bahwa Hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan
dikarenakan ada tuntutan Masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999 telah
diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 5.Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat.hal Ini mengacu
pula pada UU Agraria No 5 1960 yang mengakui Hukum adat22.
Untuk
Mempermudah Soekanto menjelaskan Ciri- Ciri Hukum Adat Di Indonesia23
Ø Keagamaan
(Magiscg Religious) Adat menghendaki agar setiap
manusia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengakui segala
sesuatu terjadi karena berkat
dan rahmat Tuhan, dan yang ada di muka bumi tidak ada yang kekal
abadi selalu, ada awal
21 Ter Haar,Peradilam
Lanraad Berdasarkan Hukum Tak Tertulis disadur dari Dies Natalies 1930
22 Prof Dr Mohamad
Koesnoe SH Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
23 Soekanto (Dalam
Nurlin Ibrahim, 2009: 10)
ada akhirnya. Oleh karena itu hukum adat selalu menghendaki agar
setiap perbuatan mendapat ridho dari Tuhan dan di jauhkan dari segala ancaman
kemarahan Tuhan.
Ø Kebersamaan (Comunal)
Sifat kebersamaan dalam hukum adat ini mengandung arti bahwa manusia menurut
hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan
kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi
oleh rasa kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain. Sifat-sifat kebersamaan dapat
dilihat dari kenyataan seharihari, seperti hukum kampong, rukun tetangga atau
rukun warga, di mana jika ada yang sakit atau meninggal dunia maka
berduyunduyunlah para tetangga mendatangi sanak saudara untuk turut serta
berduka cita
Ø Serba
kongkrit, Serba kongkrit mengandung hubungan-hubungan hukum
dilakukan tidak samar-samar antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas
dan nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian baru terjadi jika
jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerahkan
barang yang telah dijualnya.
Ø Sangat
visual Hukum adat bercorak sangat visual mengandung arti
hubungan-hubungan hukum itu dianggap
terjadi jika sudah ada tanda ikatan yang nampak, jika belum ada tanda-
tanda maka hubungan itu baru merupakan omong kosong saja, baru sekedar
menyampaikan keinginan atas menaruh perhatian.
Ø Tidak dikodifikasi Hal ini mengandung arti tidak dihimpun
dalam suatu atau beberapa kitab undang-undang menurut
system tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari Eropa. Hal ini tidak berarti
bahwa tidak ada hukum adat yang tertulis dan dibuat menjadi buku, namun tidak
sedikit hukum adat yang tidak pernah dicatat, dibukukan menurut cara setempat.
Ø Traditional,Traditional
disini mengandung arti turun-temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap
dipertahankan dan dihormati, misalnya orang Minangkabau tetap mempertahankan
Datauk Parpatihman Sebatan. Hukum adat yang traditional ini disesuaikan dengan
tradisi kepercayaana alam saat ini masih besar pengaruhnya terhadap alam
pikiran masyarakat
Ø Dapat
berubah dan mampu menyesuaikan diri Perubahan
hukum dilakukan tidak dengan cara melengkapi atau menghilangkan ketentuan yang ada, tetapi
membiarkan saja membuat ketentuan-ketentuan yang baru.
Hal ini juga menggambarkan bahwa adat mudah dan mampu menyesuaikan dengan
keadaan yang baru. Kemampuan menyesuaikan diri ini bukan saja dikarenakan sifat
hukum yang tidak tertulis dan tidak dikualifikasi melainkan karena sifat keterbukaannya.
Pembidangan24 Penerapan Hukum Adat Di Indonesia
Ada beberapa pakar yang membagi Hukum adat kedalam
beberapa Bidang dalam penerapanya di Indonesia
salah satunya Iman Sudiyat didalam
bukunya yang berjudul
“Hukum Adat, Sketsa
Asa” (1978), yang Mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
24 Iman Sudiyat,
Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978)
3.
Transaksi yang bersangkutan
dengan tanah
4.
Hukum perutangan
5.
Status badan pribadi
6.
Hukum kekerabatan
7.
Hukum perkawinan
8.
Hukum waris
9.
Hukum delik adat.
Mari Kita
Identifikasi Satu persatu penerapan Hukum Adat di Indonesia dari Berbagai
Bidang
Hukum Tanah
Kedudukan Tanah dal Hukum adat
sangat lah penting yakni dilihat dari dua aspek yang pertama sifatnya dan yang
kedua adalah karena Faktanya,dalam Hukum adat di berbagai suku memeliki kontigensi yang sama terkait
dengan Tanah yakni Menganggap bahwa Tanah merupakan salah satu benda yang berharga
meskipun di rusak atau di atom sekalipun tetap ada , selain itu dalam Hukum
adat Tanah dianggap sebagai warisan Leluhur atau Nenek Moyang dengan adanya hal ini maka dikenal
dengan adanya Tanah Ulayat atau Warisan Leluhur,
Di Indonesia Sendiri
ada data yang unik tentang Tanah Ulayat Ini dimana apabila ada tanah
seperti ini maka aka nada semacam otonomi baru selain adat yang bersangkutan
sebagai salah satu Contoh Kampung
Islam Kepaon yang berada
di Pemogan,Denpasar Selatan
Merupakan Tanah Ulayat
yang di berikan
oleh Kerajaan Dewata sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam di
zaman Kerajaan Gianyar berkuasa, Sehingga meskipun
Peraturan Daerah menetapkan bahwa apabila perayaan
Hindu di bali baik nyepi atau saraswati maka
seluruh wilayah bali harus memadamkan lampunya25 maka
wilayah Kampung Islam Kepaon tidak berlaku demikian karena adanya hak otoritas
tersendiri sebagai Tanah adat meskipun mayoritas adat Bali.
Selain Bali tentang Hukum Tanah Ini
berlaku juga di kampong Naga Garut Jawa Barat, Kampung yang terletak di daerah
lemah tineung ini merupakan salah satu yang masih kental dengan budaya adat
tentang Tanah, bagaimana tidak diwilayah ini tidak boleh tinggal kecuali hanya
40 Jiwa yang telah ditetapkan oleh kepala adat tidak boleh kurang tidak boleh
lebih, meskipun seseorang memiliki
ha katas tanahnya
namun kepemilikan itu tidak berlaku
apabila lebih dari batas
maksimum orangnya, Kampung ini pun menerapkan banyak hal terkait dengan Pertanahan
yakni dengan menetapkan tanaman apa saja yang harus ditanami dan diwajibkan dan
apa apa saja yang tidak diperkenankan selain
itu diwilayah ini tidak diperkenankan memakai benda modern
yakni harus tetap seperti dulu kala karena mengganggap peninggalan nenek
moyangnya sangat berharga, dan lainya di berbagai daerah.
25 Pergub Bali tentang
Perayaan nyepi
Transaksi tanah
Dalam hal transaksi tanah satu adat dengan yang lainya di Indonesia memiliki
kebergaman dalam hal apapun tergantung situasi adat yang berlaku,
apabila diadat betawi transaksi tanah biasanya
menggunakan Meter sebagai
elemen penghitung yang dilakukan dalam pengukuran tanah pun demikian dengan kota-kota
modern yang sekarang berkembang,namun ada beberapa daerah yang memiliki
ketentuan tersediri dalam penentuan satuan ukuran di transaksi tanah , diantaranya di tataran Sunda
Bungbulang,Tasik Malaya,Banjar dan sisi pringan Timur lainya penggunaan satuan Transaksi tanah terbiasa dengan
satuan Tumbak yakni apabila di konversi kedalam
meter 4 meter persegi.
Berbeda dengan Wilayah Padalarang,Prwakarta, Bandung Barat,Cianjur dan sukabumi
serta wilayah tataran banten yang masih eksis dalam transaksi Tanahnya
menggunakan Satuan Are atau apabila
di konversi per 100 Meter persegi di tataran masyarakat adat Gunung Mandala
Giri Garut satuan Transaksi menggunakan patok
atau 25 tumbak hal ini berlaku umum dan tidak ada yang menggugat dan
demikian pula dengan daerah lainya yang memiliki karakteristik berbeda, dalam
hal ini Islam tidak mempertetnangkan karena pada dasarnya perhitungan yang
dimaksud merupakan consensus secara terbiasa dari masyarakat dan sudah di
maklum oleh khlayak umum.
Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
Dalam transaksi yang bersangkutan
dengan tanah di tataran adat sunda ada beberapa dat yang masih dipercaya
sebagian pihak, namun bersifat mistis dan tidak masuk akal, yakni masih ada di
sebagian wilayah yang memepercayai tentang hari ketika menjual Tanah nya baik
itu hari rebo kasan dan lainya sehingga masih ada hitung-hitungan magic yang
tidak masuk akal dan cenderung dalam kemusyrikan di tanah jawa pun demikian
dalam melakukan transaksi
tanah harus meilhat tanggal
jawa dimana dipercayaai sebagai salah satu pembawa berkah dan lainya hal ini
justru bukan kategori sebgai yang dibenarkan karena menunjukan pada kepercayaan
animisme, ada pula Sumbang sambaing,sambat Sinabat dan Panjer
Hukum perutangan
Dalam beberapa kebiasanaan yang
sering terjadi terutama Ditataran Sunda terkait dengan Hutang piutang
adalah adanya Manjer Hutang
atau yang di kenal dengan
membayar Hutang yang Satu Bulan Kebelakang tapi kita bawa
lagi barang di hutang untuk bulan berikutnya atau di masayarakat Betawi di
kenal dengan Gali lobang tutup Lobang, yang lebih parah lagi ada Istilah Naur Hutang yakni Belum dibayar Hutang
Bulan sebelumnya tapi sudah mengambil barang untuk bulan berikutnya,hal ini
yang tidak dibenarkan dalam Islam meskipun Bai At-Taqshit diperbolehkan namun
Tradisi Naur Hutang merupakan Prilaku
yang tidak baik dimana pembeli mendzalimi kepada penjual
secara Masal selain
itu sikap seperti
Ini pula menumbuhkan sikap yang
berlebihan yang tidak dibenarkan dalam Alquran.
Status badan pribadi
Di beberapa daerah tentang status
Badan Pribadi terbagi menjadi dua secara kategori Makro yakni ada yang menganut
pada status Marga,ada yang berkaitan pada status keturunan da nada yang
berkaitan pada status suku,dalam adat batak masih berlaku beberapa suku dengan suku
yang lainya tidak diperkenankan untuk menikah meskipun
saling mencintai hal ini didasari pada adanya prinsip kekerabatan didalam suku
tertentu .di padang stus kedudukan Badan Pribadi khususnya di Minangkabau
berlaku sistem Motherlinear atau garis menurut keturunan Ibu Sehingga hal ini
akan berpengaruh pada sistem perkawinan yang dilakukan dimana Sang istrilah
yang menjadi kepala keluarga dan menjadi wajib hukumnya untuk memberi mas kawin
kepada sang lelaki Pada prinsipnya semua
orang dalam hukum
adat diakui mempunyai
wewenang hukum yang sama, yang
oleh Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan berhak” tetapi dalam kenyataannya
di beberapa daerah terdapat pengecualian- pengecualian seperti :
Ø Di Minangkabau orang perempuan tidah berhak menjadi
Penghulu Andiko atau Mamak kepala waris.
Ø Di daerah-daerah Jawa Tengah yang berhak menjadi kepala desa anakanak laki-laki.
Ø Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (Djojo Digoeno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”)
Ø Menurt hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum
adalah orang-orang yang sudah dewasa.
Ø Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi
kenyataan-kenyataan tertentu. Soepomo memberikan cirri-ciri seseorang dianggap
dewasa yaitu :
Ø Kuat gawe (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk
melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan
sendiri segala perbuatannya.
Ø Cakap mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
Ø
Tidak menjadi tanggungan
orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang
tuanya.
Ø Di Jawa seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan
hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah mentas atau Mencar).
Ø Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam
Keputusannya tertanggal 16 Oktober 1998 menetapkan khusus bagi wanita untuk
dapat dianggap cakap menyatakan kehendaknya sendiri sebagai berikut :
·
Umur 15 tahun
·
Masak untuk hidup sebagai isteri
·
Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatannya.
Keputusan Raad van Justitie tersebut menunjukkan adanya
pemakaian dua macam criteria yaitu criteria barat dengan criteria adat, yang
memberikan perkembangan baru bagi hukum adat khususnya mengenai criteria
dewasa.
Badan Hukum Privat Wakaf
Yaitu suatu lembaga/badan yang
bertugas untuk menurus harta kekayaan yang oleh pemiliknya diserahkan kepada
masyarakat untuk digunakan bagi kepentingan umum masyarakat, yang biasanya
digunakan untuk keperluan yang ada hubungannya dengan bidang keagamaan.
Dalam adat yang
sering terlihat adalah dua macam wakaf, yaitu :
·
Mencadangkan
suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar
·
Menentukan
sebagian dari harta benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual
demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya.
Lembaga hukum wakaf ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karena itu
maka pelaksanaannya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum
Islam seperti:
Ø Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut
hukum adat) atas apa yang ingin diwakafkan.
Ø Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang dan
maksud serta tujuan yang tidak bertentangan/ dilarang abaga, harus dijelaskan.
Ø Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang.
Ø
Maksud harus tetap.
Ø Yang menerima wakaf harus menerimanya (Kabul).
Benda-benda yang dapat diwakafkan terdiri dari:
o
Tanah kosong untuk pemekaman
umum, mesjid, surau atau tempat ibadah lainnya.
o Rumah atau suatu bangunan tertentu berikut tanahnya
yang akan diperuntukkan bagi kantor agama, mesjid,
surau, madrasah-madrasah, sekolah
keagamaan lainnya, asrama
dan rumah pertemuan keagamaan lainnya.
Yayasan
Yaitu badan hukum yang melakukan
kegiatan dalam bidang social. Yayasan yang demikian dapat dibentuk dengan akta
pembentukan. Contohnya sekarang banyak yayasan yang bergerak di bidang
kematian, bidang pemeliharaan anak yatim dan sebagainya.
Koperasi
Yaitu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasrkan atas asas kekeluargaan (UU No. 25/ 1992) Koperasi
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.
Ternyata hukum perorangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut dua sumber hukum yaitu hukum
adat Indoneis dan hukum yang berasal dari Belanda. Hal ini
menyebabkan ketidakpastian hukum perorangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya
usaha untuk lebih menggali sumber-sumber hukum yang ada di Indonesia demi terbentuknya suatu hukum
Nasional Indonesia.
Hukum kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dianut
kebanyakan masyarakat ada di Indonesia didasari oleh faktor geneologis yakni
satu kesatuan hukum yang para anggotanya terikat sebagai satu persekutuan hukum
tersebut yang merasa dari Nenek moyang yang sama. Sehingga dapat
disimpulkan ia mengikuti
garis keturunan hukum adat. Ada bebrapa penerapan hukum kekerabatan
menurut adat di Indonesia Kekerabatan Unilateral yaitu terdiri dari kekerabatan
yang anggotanya hanya menarik garis yang sama yakni dari pihak ibu atau Matrilineal
yang masih dianut masyarakat Minangkabau,Kerinci,Sumsel,Lampung dan paminggir .
dan adapula yang berdasarkan garis keturunan ayah atau patrilineal yang masih
diantut lengkap oleh Masyarakat Gayo,Batak,Nias,Pulau Buru,Pulau
Seram,Lampung,Lombok dan bali.
Sementara itu adapula sistem kekerabatan yang
berdasarlkan Parental atau Bilateral yakni anggotanya menuruti kedua garis
keturunan atau campuran.
Sedangkan dalam Islam Garis Keturunan Atau Nasab
seoarang anak didasari pada Ayah anak tersebut bukan pada garis ibu atau
keduanya hal ini didasari karena pada hakikatnya yang membuahi adalah lelaki
sedangkan posisi perempuan adalah sebagai penerima saja.
Selain itu
adapula kebiasaan laniya Seperti Mengangkat Anak (Adopsi)
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain kedalam keluarga sendiri dan menimbulkan akibat hokum. Pengangkatan
anak dibedakan beberapa macam yaitu :
Mengangkat anak bukan warga keluarga
a. Anak yang diangkat bukan warga keluarga
Menyerahkan
barang-barang magis dan sejumlah uang kepada keluarga anak
b. Tujuan untuk melanjutkan keturunan
c.
Dilakukan secara
terang artinya dilakukan
dengan upacara adat disaksikan oleh kepala adat misalnya: daerah Gayo, Nias,
Lampung, Kalimantan.
Mengangkat Anak
dari kalangan keluarga:
d. alasan “takut tidak punya keturunan”
e. Di Bali perbuatan ini disebut “nyentanayang”
f.
Biasanya anak selir-selir
yang diangkat
g. Melalui upacara adapt dengan membakar benang melambangkan
h. hubungan dengan ibunya putus
i.
Diumumkan
(siar) kepada warga desa Mengangkat anak dari kalangan Keponakan:
j.
tidak punya anak sendiri
k. belum dikaruniai anak
l.
terdorong oleh rasa kasian
m. perbuatan disebut “pedot” Jawa
n. biasanya tanpa ada pembayaran
o. Biasanya anak laki-laki yang diangkat.
Hukum perkawinan
Untuk memenuhi keperluan hidup
somah, diperlukan harta kekayaan yang disebut harta perkawinan atau harta
keluarga. Harta perkawinan atau harta keluarga dapat dibedakan dalam 4
golongan, yaitu:
·
Barang-barang yang diperoleh
secara warisan atau penghibahan.
·
Barang-barang
ini teteap milik suami atau isteri yang menerima warisan atau penghibahan.
·
Barang-barang ini hanya
jatuh kepada anak-anak mereka sebagai warisan.
·
Kalau
terjadi perceraian dan apabila tidak mempunyai anak, maka barang barang ini
kembali kepada asalnya.
·
Barang-barang yang diperoleh
atas jasa sendiri
·
Barang-barang ini diperoleh
suami atau isteri sebelum kawin
·
Barang-barang diperoleh
dalam masa perkawinan
·
Kekayaan milik bersama
disebut :
Ø
Harta suarang (Minangkabau)
Ø
Barang perpantangan (Kalimantan)
Ø
Barang cakkara (Bugis)
Ø
Harta gonogini (Jawa)
Ø
Guna kaya, campura kaya,
barang sekaya (Sunda)
Milik bersama isteri adalah semua kekayaan yang
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan asalkan kedua-duanya bekerja
kepentingan somah. Walaupun seorang isteri hanya bekerja dirumah mengurus
anak-anak, mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja juga. Semua kekayaan
yang diperoleh suami menjadi milik bersama. Suami telah menerima bantuan yang
sangat berharga serta memperlancar pekerjaan suami sehari-hari. Yurisprudensi
M.A. tanggal 7 November 1956, mengatakan: Semua kekayaan selama berjalannya
perkawinan, merupakan harta gono
gini, biarpun hanya kegiatan suami saja.
Ø Menurut hukum adat suami isteri cakap melakukan
perbuatan hukum, misalnya transaksi barang-barang campur kaya dapat dilakukan
oleh isteri apabila suami tidak ada ditempat dan isteri disini bukan mewakili
suami yang akan tetapi sebagai pemilik sendiri. Jadi,ia cakap mengambil
keputusan sendiri.
Ø Hak milik bersama dapat dipakai untuk membyar hutang
baik hutang suami maupun hutang isteri apabila harta gonogini tidak cukup, maka
dapat dipakai harta asal.
Pembagian harta
bersama apabila terjadi perceraian:
Ø Prinsipnya milik bersama dibagi antara kedua belah
pihak masing-masing pada umumnya mendapat separuh.
Ø Ada beberapa daerah yang mempunyai kebiasaan
sedemikian rupa sehingga suami lebih besar dari pada isterinya yaitu dua-
pertiga untuk suami dan sepertiga untuk isteri, yang disebut “sagen dong
sapikul” (Jawa).
Ø Kebiasaan sagendong sapikul lambat laun berubah akibat
kesadaran masyarakat dan masalah ini tidak sesuai dengan kesadaran adanya
persamaan hak.
Ø Keputusan Mahkamah Agung tangga 25 Pebruari 1959 Reg.
No. 387 K/Sip/1960 menyatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di Jawa
Tengah seorang janda mendapat separuh dari harta gono gini.
Ø Selanjutnya Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 April
1960 Reg. No. 120 K/Sip/1960 menetapkan bahwa harta pencaharian itu harus
dibagi sama rata antara suami isteri.
Ø Apabila salah seorang (suami atau isteri) meninggal
biasanya semua harta bersama dibawah kekuasaan yang masih hidup guna keperluan hidupnya.
Ø Selama seorang janda belum kawin lagi barang-barang
bersama dikuasai olehnya tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin hidupnya
(Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juli 1959 Reg. No. 189 K/Sip/1959.
Ø Hal yang menarik di Padang minangkabau perkawinan
disyaratkan Istri yang membayar mas kawin atas
suami
Ø Di Sulawesi mahar perkawinan ditentukan atas kasta
yang berlaku semakin tinggi sang anak kedudukanya maka semakin besar mahar yang
harus dibayar
Ø Di sunda pengantin harus menempuh jalur adat yakni saweran dan lainya
Ø Di sasak ada adat yang tidak sesuai islami yakni Adat
menculik Wanita dimana tanpa sepengatahuan orang tuanya apabila sudah diculik
maka wajib hukumnya bagi orangtua perempuan untuk menikahkanya dengan orang
yang menculiknya
Hal ini tentu sangat tidak etis dan bertentangan
dengan Syariat.
Hukum waris
Hukum adat waris erat hubungannya
dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan,
misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
Ø Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya
masih hidup yang disebut “penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi
setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan.
Ø Dasar pembagian warisan
adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan
keadaan istimewa dari tiap ahli waris
Ø Adanya persamaan hak para ahli waris
Ø
Harta warisan tidak dapat
dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
Ø
Pembagian warisan dapat
ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian
saja.
Ø Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi
harus dilihat dari sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang
warisan tersebut.
Sistem kewarisan individual, Harta
peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris seperti dalam masyarakat
di Jawa ada pula Sistem kewarisan kolektif Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para
ahli waris, misalnya harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi- bagikan hanya
dapat dipakai atau hak pakai serta Sistem kewarisan mayorat Harta peninggalan
diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada salah satu anak saja.
Sistem kewarisan
mayorat dibagi dua yaitu, mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan
jatuh kepada anak-anak laki- laki dan Mayorat perempuan yaitu harta peninggalan
jatuh pada anak perempuan tertua.
Sedangkan tata cara penghibahan atau Pewarisan yang
berdasar pemberian hibah adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk
memberikan kepastian hukum.
Hibah ada dua
macam yaitu :
Ø
Hibah biasa yaitu pemberian
harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup.
Ø Hibah Wasiat yaitu
pelaksanaannya setelah pewaris
meninggal dunia harta tersebut
baru diberikan. Keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1960 Reg. No. 225
K/Sip/1960 menetapkan syarat-syarat hibah yaitu :
Ø Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris
Ø Hibah tidak menyebabkan ahli waris yang lain menjadi
kehilangan hak atas harta kekayaan tersebut.
Para ahli waris
Yang menjadi ahli waris yang
terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung ini maka
anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Mengenai
pembagiannya menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember 1961 Reg. No.
179 K/Sip/61 anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan
bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah
sama dengan anak perempuan. Hukum adat waris iini sangat dipengaruhi oleh
hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yaitu matrilineal dan
patrilineal.Di daearah Minangkabau yang menganut system matiarchaat, maka
apabila suaminya meninggal, maka anak-anak tidak merupakan ahli waris dari
harta pencahariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga anggota famili ibunya
sedangkan bapaknya tidak, sehingga harta pencahariannya jatuh pada
sausarasaudara sekandungnya.
Di Bali, hanya anak laki-laki tertua
yang menguasai seluruh warisan, dengan suatu kewajiban memelihara adik-adiknya
serta mengawinkan mereka. Di Pulau Savu yang bersifat parental harta
peninggalan ibu diwarisi oleh anak-anak perempuan dan harta peninggalan bapak
diwarisi anak laki-laki.
Beberapa Yurisprudensi tentang adat waris yakni
Keputusan M..A. tanggal
18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959
mengatakan:’’Hak untuk mengisi/ penggantian kedudukan ahli waris yang telah
lebih dahulu meninggal dunia dari pada yang meninggalkan warisan adalah ada
pada keturunan dalam garis
menurun. Jadi cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya’’. Keputusan
M.A.
tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959 mengatakan:’’ Penggatian waris dalam garis keturunan ke atas juga
mungkin ditinjau dari rasa keadilan.
Pada dasarnya penggantian waris
harus ditinjau pada rasa keadilan masyarakat dan berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orang
tua dan sebaliknya. Didalam masyarakat adat dikenal juga apa yang
disebut dengan :
Ø
anak angkat
Ø
anak tiri
Ø
anak di luar kawin
Ø
kedudukan janda
Ø kedudukan duda
Anak Angkat:
Kedudukan hukum anak angkat di
lingkngan hukum adat di beberapa daerah tidak sama Di Bali perbuatan mengangkat
anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan hak anak dari pertalian orang tua
kandungnya, sehingga anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya
dengan tujuan untuk melanjutkan keturunannya. Di Jawa perbuatan mengangkat anak
hanyalah memasukkan anak itu kekehidupan rumah tangganya saja, sehingga anak
tersebut hanya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, dan
tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tua
kandungnya. Jadi bukan untuk melanjutkan keturunan seperti di Bali. Putusan
Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas
barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang pusaka
(barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18
Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
Anak Tiri
Anak tiri yang hidup bersama dengan
ibu kandungnya dan bapak tirinya atau sebaliknya adalah warga serumah tangga
pula. Terhadap Bapak atau ibu kandungnya anak itu adalah ahli waris, tetapi
terhadap bapak atau ibu tirinya anak itu bukanlah ahli waris melainkan hanya
warga serumah tangga saja.Hidup bersama dalam suatu rumah tangga membawa hak-hak
dan kewajiban- kewajiban
antara satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara
anggota rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya,
bahkan anak tiri berhak atas
penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian sebaliknya.
Anak yang lahir
diluar Perkawianan:
Anak yang lahir
diluar perkawinan hanya menjadi ahli waris dari ibunya.
Kedudukan Janda;
Didalam hukum adat kedudukan
janda didalam masyarakat di Indonesia adalah
tidak sama sesuai dengan sifat
dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matrialineal: harta warisan suaminya
yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
Di Daerah
Tapanuli dan Batak:
Ø
Isteri dapat mewarisi harta
peninggalan suaminya.
Ø Anak yang belum dewasa dibawah kekuasaan ibunya dan
harta kekayaan anak dikuasai ibunya.
Ø Janda wajib tetap berada dalam ikatan kekelurgaan
kerabat suaminya, bahkan sering janda menjadi isteri dari saudara suaminya.
Kedudukan Duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat
kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya tidak masuk keluarga isteri,
sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri. Di Daerah Batak dan Bali suami
berhak atas warisan isterinya yaitu barang-barang yang dulu dibawa oleh
isterinya. Di Jawa duda berhak
mendapat nafkah dari harta kekayaan
rumah tangga setelah
isterinya meninggal dunia.
Kebiasaan Dalam ber Muamalah
belum ditambahkan para ilmuan adalah kebiasaan
masyarakat dalam bermuamalah yakni ada beberpa poin yang tidak diperkenankan
dalam Islam salahsatunya kebiasaaan memebeli barang atau tanaman yang ada
didalam tanah hal ini menimbulkan Ghrarar dan tidak diperlkenankan dalam Islam
lalu membeli Ikan yang masih di kolam dengan teplak, kejadian ini masih sering dan menjadi hal lumrah di daerah Selatan
Jawa Barat.dan yang tidak kalah penting adalah kebiasaan di pasar tentang
pemindahan barang dari gudang yang disinyalir suka menimbulkan Konflik karena
perhitungan hal-hal tersebut masih eksis di masyarakat karena menganggap biasa saja.
Penutup
Pada dasarnya pemkaian al-‘Adah atau
al-‘‘Urf sebagai pijakan dalam penetapan atau penerapan suatu ketentuan hukum (
محكمة العادة ) ada– lah dalam pengertian sebagai “penun– jang”
saja, bukan sebagai landasan yu– ridis atau perangkat metodologis otonom yang
dapat menghasilkan ketetapan hukum shari’ah secara mandiri (tentu jika sesuai
dengan ketentuan- ketentuan pene– rapan yang telah ditetapkan), maka bisa
dikatakan, bahwa penerapan al-‘A dah atau al-‘Urf dalam hakikatnya adalah
penerapan dalil-dalil syar’i itu sendiri yang bisa berbentuk ijma’, qiyas khafi
atau istihsan, istislah dan sad al-Dhari’ah, yang kesemuanya adalah mu’tabarah sebagai hujjah shar’iyyah
Islam memberikan Cakupan batasan sesuai yang telah
ditentukanAlquran dan Sunnah maka sejatinya Adat lah yang harus mengikuti pada
Budaya Islam bukan islam yang harus mengikuti adat karena pada dasarnya apa
yang diatur dalam alquran memberikan pengertian bahwa kita adalah sebgai
makhluk yang memerlukan petunjuk dan setiap petunjuk ada didalam Aquran dan
Sunnah nya
Daftar Pustaka
Satria Effendi,
M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 177.
Arthur,
Schiller A dan E Adamson Hoebel, Adat Law In Indonesia, (Jakarta, Bhratara1962)
Prof.Dr, Van Dijk, R, , Pengantar Hukum Adat Indonesia,( Bandung, Sumur
Bandung. 1982) Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya,
Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ibn al-Manzur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar
Lisan al-Arab), 959/PHN&Seminar International FTK Papper
A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2010)
Formulasi Nalar
Fiqh: Telaah Kaidah fiqih Konseptual, Abdul Haqim dkk (Surabaya; Khalista,
2009),
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Pustaka
Jakarta
Ahmad ibn
Muhammad Al-Zarqa Sharh al-Qawa ’id alFiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam 1996)
Moh Rifa’i, Ushul Fiqh (Semarang:
Wicaksana, 1984),
Ibrahim Ibn
Musa Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul alAhkam Jilid II (Bairut: Dar al-Fikr)
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978)
http/:www.Sarjana.com
diakses 27 Januari 2017
Pengantar dan
Asas- Asas Hukum Adat Di Indonesia, Bewa Ragawino, SH,MSi, Jurnal Unpad 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar