Minggu, 03 Desember 2017

Al’Adah Al-Muhakamah dan penerapanya di Indonesia: Antara Eksistensi Hukum Adat dan Ketepatan Hukum Islam di Nusantara



Al’Adah Al-Muhakamah dan penerapanya di Indonesia:
Antara Eksistensi Hukum Adat dan Ketepatan Hukum Islam di Nusantara
 Oleh : Tri Aji Pamungkas


 Hasil gambar untuk Eksistensi hukum adat dan islam







Abstrak  
 Indonesia adalah Negara Kepulauan dengan Jumlah Suku mencapai 1340 Suku Bangsa dari Sabang sampai merauke dan beragamnya budaya serta adat leluhur yang masih dipercaya di berbagai wilayah di Nusantara, Selain Itu Indonesia juga di nobatkan sebagai The Great Moeslim Population dimana salah satu pusat terbesar populasi muslim Dunia yang disandang negeri pertiwi.
Dengan historical yang panjang tentang kedatangan agama-agama besar termasuk islam di era Indra Varma Raja Sriwijaya menambah daftar sejarah bahwa bumi pertiwi amat kental dengan keislamanya yang dibuktikan dengan banyaknya Kerjaan dan Kesultanan Islam di era keemasan Nusantara di Tahun 1200an hingga 1600an Masehi, hal ini tentunya memepengaruhi dari budaya yang dianut dimana aka nada beberapa akulturasi bahkan campuran budaya yang melekat dimata para pemangku adat di negeri pertiwi namun Islam dengan tegas memberikan konsep yang sangat bijaksana dimana pengaturan sendi-sendi kehidupan termasuk adat diperkenankan selama tidak melanggar apa yang telah termaktub dala Al-Aquran dan Assunah sebagai landasan Hidup kita hingga akhir Kelak.
Dalam tulisan yang sederhana ini penulis menjelaskan tentang eksistensi Hukum adat di Indonesia dan Konsep Hukum Adat dalam Islam dimana dalam UN Declaration On The Right Of Indigenous People yang memberikan pengaturan international tentang hak-hak dasar masyarakat adat Indonesia merupakan Negara yang memiliki eksistensi Adat terbanyak kedua Setelah Papua Nuginie, Namun memiliki keistimewaan lebih dengan adanya Pengakuan Yuridis tentang menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masa hidup dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara Kesatun Republik Indonesia yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-undang. Hal ini mencoba memberikan penerangan bagi penulis yang akan dijelaskan beberapa contoh adat yang masih eksis di nusantara sebagai perbandingan dan khasanah keilmuan tentang hukum adat di Nusantara yang akan menjadi Istinbath dalam Huku
Kata Kunci: Hukum, Adat, Istinbath dan Eksistensi di Nusantara

Pendahuluan

Sumber hukum Islam yang disepakatai oleh para ulama adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya merupakan dalil utama kepada hukum Allah (adillah al-ahkam al-mansusah), karena keberadaannya tedapat dalam Nash, Sedangkan dalil-dalil lain selain al-Qur’an dan Sunnah seperti ijma’, qiyas, istihsan, al- maslahah al-mursalah, istishab, ‘Urf, shar’u man qablana, dan qaul sahabi dianggap sebagai dalil pendukung (adillah al-ahkam ghair al-mansusah), yang hanya merupakan alat bantu untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Karena hanya sebagai alatbantu untuk memahami al- Qur’an dan Sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode Istinbat1
Sedangkan‘Urf (adat istiadat/tradisi) merupakan salah satu metode istinbat hukum Islam yang diperselisihkan para ulama-, kalangan madhhab Hanafi dan Maliki memandangnya sebagai dalil hukum, akan tetapi kalangan madhhab yang lain (Syafi’i, Hambali, Dhahiri, Syi’i) tidak m emandangnya sebagai dalil hukum. Meskipun madhhab Syafi’i tidak memandang ‘Urf sebagai dalil hukum, akan tetap dalam realitasnya Imam Syafi’i menggunakan sosiokultur budaya (‘Urf) masyarakat dalam menetapkan sebuah hukum, hal ini terlihat dengan adanya qaul qadim dan qaul jadid.lalu bagaimana dengan istilah Hukum adat itu sendiri ?
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof. Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.2
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan:“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.3





1 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 177.
2 Arthur, Schiller A dan E Adamson Hoebel, Adat Law In Indonesia, (Jakarta, Bhratara1962)
3 Prof,Dr, Van Dijk, R, , Pengantar Hukum Adat Indonesia,( Bandung, Sumur Bandung. 1982)

Dalam beberapa teori yang salah satunya Teori Reception in Coplexu yang dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. ‘’Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adlah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian’’.4
Snouck Hurrunye mengungkapkan dalam teorinya Ia menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin, bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinana, dan hukum waris.
Semua tentang hal diatas dibantah dalam Islam bahwa sejak 1400 tahun yang lalu satu sisi Islam memberikan Akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muh akkamah” (‘Adah itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al‘adah shari’ah muhkamah” (‘Adah adalah syari'at yang dapat dijadikan hukum). Hanya saja tidak semua tradisi bisa dijadikan hukum, karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kaidah fikih di atas terdapat pesan moral agar memiliki sikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis ini yang menjadi perdorong terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam. Berdasar kaidah fiqh ini pula, kita memperoleh pesan kuat bahwa restrukturisasi dan dina– misasi pemahaman keagamaan Islam hendaknya selalu dikembangkan agar selalu mampu merespon persoalan-per– soalan masyarakat dan budayanya yang selalu dinamis dan terus berkembang.5
Secara etimologi, kata al-‘Adah berarti pengulangan شئ واالستماررعلي الدءب 6 baik berupa perkataan atau perbuatan. ‘Adah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah (المعاودة) yang artinya berulang7 Secara terminologi, ‘Adah adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya.8 “sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (watak) yang sehat” Pendapat Ibnu Nuzaem.9 Di dalam ilmu Islam ada sedikit Persamaan antara Al’Adah dan Al’Urf walaupun secara subtansional keduanya memiliki kesamaan di bandingkan perbedaanya sedangkan dalam pengaturan di hukum positif di Indonesia Banyak pilihan menggunakan istilah Masyarakat Adat atau Masyarakat



4 teori Reception in Coplexu, Mr. LCW Van Der Berg
5 Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya,Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya.
6 Ibn al-Manzur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar Lisan al-Arab,tt), 959/PHN&Seminar International FTK Papper
7 A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),78-79
8 Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah fiqih Konseptual,Abdul Haqim dkk (Surabaya; Khalista, 2009),
9 A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),79-80

Hukum Adat, Masyarakat Tradisional, Komunitas Adat memiliki implikasi pada saat kita mencoba menelusurinya dalam dokumen-dokumen peraturan negara Indonesia. Jika kita menggunakan istilah masyarakat adat, maka kita tidak akan menemukannya dalam UUD 1945 hasil amandemen I-IV dan sebagian besar Undang-Undang yang diterbitkan pemerintah, kecuali dalam UU Sisdiknas No.20/2003 dan UU Kehutanan No.41/1999, meskipun dalam kedua UU yang dikecualikan tersebut, sama sekali tidak ada pengertian mengenai istilah masyarakat adat. Bahkan dalam UU kehutanan, pencantuman istilah masyarakat adat ditengarai akibat dari editing bahasa yang buruk. Dengan demikian, sesungguhnya UU Kehutanan tidak memaksudkan diri menyebut istilah masyarakat adat dalam pasal-pasalnya Implikasi yang sama juga terjadi ketika kita menyebut istilah komunitas adat dan masyarakat tradisional. Jarang sekali kita menemukan istilah tersebut dalam “UU yang paling berpengaruh” dalam penyelenggaraan negara. Meskipun istilah Komunitas Adat dipakai oleh Departemen Sosial dengan menambahkan kata terpencil di belakangnya. Sementara masyarakat tradisional digunakan dalam beberapa UUD 1945 hasil amandemen I-IV dan tidak ditemukan dalam UU yang lainnya.10
Dengan banyaknya presepsi hukum maka kita akan mengambil beberapa hal yang menjadi subtatntif terkait dengan Al’Adah Almuhakamah berdasarkan dengan banyak Versi yang telah di ungkapkan diatas maka terlebih dahulu kita akan mengkaji lebih dalam bagaimana presepsi dalam Islam yang diantaranya ulama banyak berselisih apakah Urf dan ‘adah itu sama atau berbeda ada yang menyatakan bahwa ‘adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak dikatakan ‘Urf apabila suatu kebiasaan yang hanya terjadi pada individu tertentu ada pula yang menyatakan bahwa ‘Adah bisa muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat, sedangkan ‘Urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui pemikiran dan pengalaman11lalu ada Pula yang menyatakan bahwa ‘Adah tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan yang menjadi ‘Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu memberiakan penilaian pada segala sesuatu yang menjadi ‘Urf12. Terlepas pro dan kontra pendapat antara ulama yang menganggap sama atau tidak antara al- ‘Adah dan al‘Urf karena tidak ada perbedaan yang signifikan terlebih lagi tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, maka dari beberapa definisi terminologi diatas secara umum bisa disimpulkan bahwa antara al- ‘Adah dan al-‘Urf dapat dicirikan menjadi empat unsur, yaitu: Pertama,Hal-hal (perkataan atau perbuatan) yang dilakukan berulangkali dan telah tertanam dalan diri. Kedua,Menjadi hal yang lumrah dan mudah dilakukan, spontanitas atau tidak. Ketiga, Acceptable (diterima sebagai sebuah Apresiasi yang baik).Keempat, Berlangsung terus (Applicable) dan konstan serta merata atau mayoritas dalam suatu daerah13.
Sedangkan Muhakkamah adalah bentuk Maf’ul dari Masdar Tahkim yang berarti penyelesaian masalah, jadi al-‘Adah baik umum atau khusus, dapat dijadikan sandaran penetapan atau penerapan suatu ketentuan hukum ketika terjadi permasalahan yang tidak ditemukan keten



10 ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat, Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia
? Asep Yunan Firdaus 2007
11 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 138-139.
12 Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh., 364.
13 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 139

tuannya secara jelas dan tidak ada pertentangan dengan suatu aturan hukum yang besifat khusus atau meskipun terdapat pertentangan dengan suatu aturan hukum yang besifat umum.14

Dasar Kaidah al-‘Adah Muhakkamah sebagai Sandaran (Penetapan atau Penerapan) Hukum

Al-Qur’an
Sebagian ulama melandaskan kehujjahan kaidah ini kepada ayat Al-Qur’an surat al- A’raf: 199 Yang Artinya:
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Menurut Al-Suyuthi seperti dikutip Saikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab alnuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah dila kukan Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang- orang yang masih lemah imannya15 Sedangkan Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘adah muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung dalam al-Qur an surat AlNisa’ ayat 115 yang artinya
‘’ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengi– kuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap ke– sesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahan– nam itu seburuk-buruk tempat kembali’’
Kata sabil merupakan sebuah sinonim dengan kata tariq yang dalam bahasa Indonesia berarti jalan. Dengan demikian sabil al-Mu’mini n dalam ayat di atas apabila dilihat dalam kata arab dimaksudkan dengan jalan (etika atau norma) yang dianggap baik oleh orang-orang mukmin, serta sudah menjadi budaya sehari-hari mereka16.
Dalam ayat lain pula di jelaskan seperti di surat Almaidah ayat 89 yang artinya : “kaffarat (melanggar sumpah) ialah member makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada ke– luargamu atau memberi pakaian’’
Kata awsat Jika dilihat dalam Arabnya tidak dinashkan ukurannya dengan ketentuan pasti, maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang dimakan atau dipakai keluarga tersebut.17




14 Ahmad ibn Muhammad Al-Zarqa Sharh al-Qawa ’id alFiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam,1996), 219.
15 Moh Rifa’i, Ushul Fiqh (Semarang: Wicaksana, 1984),
16 Menurut al-Jarhazi, pengarang kitab Mawahib al-Saniyyah Sharh Nazm alQawa’id al-Fiqhiyyah,Diambil dari Jurnal Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya,Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya
17 A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),81

Sunnah

Landasan kehujjahan yang berupa alSunnah yaitu diantaranya :
مااره المسلمون حسنا فهوعندالله حسن و مااره المسلمون سيئا فهوعندالله سيئ  Mas’ud: Ibn diriwayatkan Hadith

Sesuatu yang dipandang baik oleh orang – orang islam maka hal itu baik menurut Allah,
dan sesuatu yang diapandang buruk oleh orang –orang islam maka hal itu buruk pula menurut Allah”
Menurut al-Ala’ setelah diadakan penelitian secara mendalam, diketa– hui bahwa hadis ini adalah bukan Marfu’ akan tetapi perkataan Ibn Mas’ud (Mawquf) yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya.18
ان علي اهل الحلوائط حفظها بالنهار و علي اهل المواشي حفظها بالليل
“Pemilik kebun harus nejaga kebunnya di siang hari dan pemilik ternak harus menjaga ternaknya di malam hari’’
Penunjukan hadis diatas adalah jika ternak yang merusak tanaman pada waktu malam, maka pemilik ternak wajib membayar ganti rugi, karena kebiasaan arab ketika itu adalah semua ternak dimasukkan ke dalam kandangnya pada malam hari, akan tetapi apabila ternak tersebut merusak tanaman pada siang hari, maka pemi– lik ternak tidak mempunyai kewaji– ban membayar ganti rugi.
Lalu ada Hadis yang diriwayatkan oleh Jamaah selain al-Baihaqi yaitu perkataan Nabi terhadap Hindun isteri Abu Sufyan ketika ia mengadukan kekikiran suaminya dalam nafkah keluarga:
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah, sebagai nafkah yang bisa meme– nuhi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan lumrah (menurut adat kebiasaan yang berlaku)”

Ijma’

Diketahui bahwa para imam madh– hab menganggap ijma’ ‘amali (Budaya umum) adalah menjadi landasan kehujjahan al-‘Urf atau al-‘Adah, dikatakan oleh al-Shatibi19 bahwa tujuan legislasi yang utama adalah menciptakan dan menjaga kemaslahatan umum, jika demikian menurutnya adalah tidak lain dengan memelihara kebiasaan-kebiasaan yang me realisasikan tujuan kemaslahatan atau setidaknya dengan mempetahankan kebiasaan yang telah lumrah, mereka akan terhindar dari kesulitan

Qiyas / Logika

Alasan kehujjahan al-‘Adah dari qiyas atau logika adalah:




18 A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),81
19 Ibrahim Ibn Musa Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul alAhkam Jilid II (Bairut: Da>r al-Fikr,tt), 212

·         Hasil penelitian yang dilakukan ulama, diketahui bahwa banyak diantara ketetapan hukum yang menjustifikasi beberapa kebiasaan yang ada sebelum Islam, seperti perjanjian al- Salam, alIstisna’, al-Mudarabah dan jual beli al‘Araya (jual beli antara kurma basah yang masih belum dipetik dengan kurma kering)
·         Andai bukan karena keberlangsungan al-‘Adah atau al-‘Urf niscaya tak akan diketahui asal suatu agama, karena agama diketahui dengan kenabian, kenabian diketahui dengan kemukjizatan dan dikatakan mukjizat apabila keluar dari kebiasaan خارق للعادة
·         Pada dasarnya penetapan hukum dengan landasan al-‘Adah atau al-‘Urf adalah tidak berdiri sendiri akan tetapi merujuk pada metodologi penetapan hukum yang mu’tabarah seperti ijma’. Maslahah dan Dhari’ah disamping banyak ketetapan hukum yang berubah karena perbedaan situasi dan kondisi.
Selain Itu ada beberapa ketentuan yang memebatasi tentang bagaimana Hukum Adah bisa berlaku dalam suatu tempat diantaranya :
Ø  ‘Adah tidak bertentangan dengan nash shar’i dalam al-Qur’an atau al-Hadits atau dengan prinsip legislasi yang telah pasti dengan pertentangan yang mengakibatkan penafian pemberlakuan semua aspek hukum secara keseluruhan (bukan Al-‘‘Urf al- Fasid), seperti kebiasaan menyerahkan barang titipan kepada keluarga penitip atau budaya mewakafkan barang bergerak (al-‘Ain al-Manqul) dan lainnya.
Ø  ‘Adah berlangsung konstan (muttarid) dan berlaku mayoritas seperti penyerahan mahar dalam perkawinan dalam bentuk kontan atau cicilan dianggap konstan apabila kenyataan tersebut berlangsung dalam setiap peristiwa perkawinan di seluruh negeri.
Ø  A’dah terbentuk lebih dahulu dari masa penggunaannya sebagai pijakan hukum, syarat ini bisa dinyatakan dalam istilah-istilah yang biasa digunakan pada waktu mengadakan transaksi seperti wakaf, jual beli, wasiat dan ikatan perkawinan. Seperti istilah “ulama” atau “santri” yang lumrah masa dulu akan berbeda pengertiannya dengan sekarang, sama halnya dengan nash shar’i yang bisa dipahami sesuai setting kehadirannya seperti kata fii sabilillah dimaksudkan dengan kemaslahatan pejuangan dan Ibn Sabil dimaksudkan dengan orang yang habis bekal perjalanannya, ketika ketika tradisi sudah berubah, maka kata pertama dimaksudkan dengan orang yang mencari ilmu sedangkan yang kedua dimaksudkan dengan anak hilang.
Ø  Tidak terdapat perkataan atau perbuatan yang berlawanan dengan substansi atau yang memalingkan dari ‘Adah. Contoh kasus, jika kreditur tidak memberi batasan dalam transaksi hutang piutang tentang waktu,tempat dan kadar, maka kebiasaan yang berlaku akan mengambil alih dalam masalah tersebut atau dalam transaksi jual beli budaya melemparkan uang pembayaran (al-Thaman) adalah merupakan kesepakatan terjadinya transaksi selama belum ada tindakan yang menunjukkan sebaliknya.

Identifikasi Penerapan Hukum Adat Di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang akaya akan budaya dan lekat dengan adat leleuhur atau nenek moyang hal ini didasari karena banyaknya keberagaman yang terjadi di Indonesia dan

historical yang panjang tentang kebudayaan Nusantara Menurut Data Statistik di Badan Pusat Statistik per 2010 Indonesia memiliki 300 Suku etnik yang diakui dan 1340 Suku Bangsa20
Daftar Besar Suku dan Presentase BPS 2010

No
Suku Bangsa
Populasi(Juta)
Presentase
Kawasan
1
Suku Jawa
95,2
40,2%
Jatim,Jateng,Lampung
2
Suku Sunda
36,7
15,5%
Jabar
3
Suku Batak
8,5
3.5%
Sumatra Utara
4
Suku Asal Sulawesi
7,6
3,2%
Sulawesi
5
Suku Madura
7,2
3%
Pulau Madura
6
Suku Betawi
6,8
2,88%
Jakarta
7
Minangkabau
6,5
2,73%
Sumbar,Riau
8
Suku Bugis
6,3
2,69%
Sulawesi Selatan
9
Arab Indonesia
5,000
2,4%
Jakarta,Jabar,Jateng
10
Suku Banten
4,331
2,1%
Banten
11
Suku Banjar
3,506
1,7%
Kalimantan Selatan
12
Suku Bali
3,094
1,5%
Pulau Bali
13
Suku Sasak
2,681
1,3%
Pulau Lombok
14
Suku Makasar
2,063
1%
Sulawesi Selatan
15
Suku Cirebon
1,856
0,9%
Jawa Barat

Selain Itu terdapat pula elemen kecil dari setiap kelompok yang tidak dimasukan kedalam Kelompok besar menurut jumlah populasi hal ini terjadi Karena sebagian mengganggap sebagai elemen pendatang saja, selain itu dapat pula dibagi dalam jumlah pulau atau regional baik dari timur ke barat dan sebaliknya























20 BPS 2010

Suku bangsa Menurut Pulau Dioalah Penulis


Ada beberapa data Menarik terkait dengan penerapan hukum adat di Indonesia diantaranya apabila kita berangkat dari kasus salah satu adat Suku Naulu yang terletak di daerah Maluku Tengah sangat membutuhkan Kajian lebih dalam dikarenakan dalam penjatuhan Pidana oleh hakim yakni pidana mati di adat Ini Membutuhkan Kepala Manusia sebagai Ritual adat Suku Naulu Sehingga penjatuhan Hukuman di pengadilan Negeri Maluku tentang Penjatuhan Hukuman Mati21.

Hal Ini mengacu Pada UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 dalam pasal 28 yang menyatakan bahwa Hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan ada tuntutan Masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999 telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 5.Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat.hal Ini mengacu pula pada UU Agraria No 5 1960 yang mengakui Hukum adat22.
Untuk Mempermudah Soekanto menjelaskan Ciri- Ciri Hukum Adat Di Indonesia23
Ø  Keagamaan (Magiscg Religious) Adat menghendaki agar setiap manusia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengakui segala sesuatu terjadi karena berkat dan rahmat Tuhan, dan yang ada di muka bumi tidak ada yang kekal abadi selalu, ada awal




21 Ter Haar,Peradilam Lanraad Berdasarkan Hukum Tak Tertulis disadur dari Dies Natalies 1930
22 Prof Dr Mohamad Koesnoe SH Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
23 Soekanto (Dalam Nurlin Ibrahim, 2009: 10)

ada akhirnya. Oleh karena itu hukum adat selalu menghendaki agar setiap perbuatan mendapat ridho dari Tuhan dan di jauhkan dari segala ancaman kemarahan Tuhan.
Ø  Kebersamaan (Comunal) Sifat kebersamaan dalam hukum adat ini mengandung arti bahwa manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi oleh rasa kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain. Sifat-sifat kebersamaan dapat dilihat dari kenyataan seharihari, seperti hukum kampong, rukun tetangga atau rukun warga, di mana jika ada yang sakit atau meninggal dunia maka berduyunduyunlah para tetangga mendatangi sanak saudara untuk turut serta berduka cita
Ø  Serba kongkrit, Serba kongkrit mengandung hubungan-hubungan hukum dilakukan tidak samar-samar antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian baru terjadi jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerahkan barang yang telah dijualnya.
Ø  Sangat visual Hukum adat bercorak sangat visual mengandung arti hubungan-hubungan hukum itu dianggap terjadi jika sudah ada tanda ikatan yang nampak, jika belum ada tanda- tanda maka hubungan itu baru merupakan omong kosong saja, baru sekedar menyampaikan keinginan atas menaruh perhatian.
Ø  Tidak dikodifikasi Hal ini mengandung arti tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab undang-undang menurut system tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari Eropa. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada hukum adat yang tertulis dan dibuat menjadi buku, namun tidak sedikit hukum adat yang tidak pernah dicatat, dibukukan menurut cara setempat.
Ø  Traditional,Traditional disini mengandung arti turun-temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipertahankan dan dihormati, misalnya orang Minangkabau tetap mempertahankan Datauk Parpatihman Sebatan. Hukum adat yang traditional ini disesuaikan dengan tradisi kepercayaana alam saat ini masih besar pengaruhnya terhadap alam pikiran masyarakat
Ø  Dapat berubah dan mampu menyesuaikan diri Perubahan hukum dilakukan tidak dengan cara melengkapi atau menghilangkan ketentuan yang ada, tetapi membiarkan saja membuat ketentuan-ketentuan yang baru. Hal ini juga menggambarkan bahwa adat mudah dan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Kemampuan menyesuaikan diri ini bukan saja dikarenakan sifat hukum yang tidak tertulis dan tidak dikualifikasi melainkan karena sifat keterbukaannya.

Pembidangan24  Penerapan Hukum Adat Di Indonesia

Ada beberapa pakar yang membagi Hukum adat kedalam beberapa Bidang dalam penerapanya di Indonesia salah satunya Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang Mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1.  Hukum Tanah
2.  Transaksi tanah



24 Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978)

3.  Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4.  Hukum perutangan
5.  Status badan pribadi
6.  Hukum kekerabatan
7.  Hukum perkawinan
8.  Hukum waris
9.  Hukum delik adat.
Mari Kita Identifikasi Satu persatu penerapan Hukum Adat di Indonesia dari Berbagai Bidang

Hukum Tanah

Kedudukan Tanah dal Hukum adat sangat lah penting yakni dilihat dari dua aspek yang pertama sifatnya dan yang kedua adalah karena Faktanya,dalam Hukum adat di berbagai suku memeliki kontigensi yang sama terkait dengan Tanah yakni Menganggap bahwa Tanah merupakan salah satu benda yang berharga meskipun di rusak atau di atom sekalipun tetap ada , selain itu dalam Hukum adat Tanah dianggap sebagai warisan Leluhur atau Nenek Moyang dengan adanya hal ini maka dikenal dengan adanya Tanah Ulayat atau Warisan Leluhur, Di Indonesia Sendiri ada data yang unik tentang Tanah Ulayat Ini dimana apabila ada tanah seperti ini maka aka nada semacam otonomi baru selain adat yang bersangkutan sebagai salah satu Contoh Kampung Islam Kepaon yang berada di Pemogan,Denpasar Selatan Merupakan Tanah Ulayat yang di berikan oleh Kerajaan Dewata sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam di zaman Kerajaan Gianyar berkuasa, Sehingga meskipun Peraturan Daerah menetapkan bahwa apabila perayaan Hindu di bali baik nyepi atau saraswati maka seluruh wilayah bali harus memadamkan lampunya25 maka wilayah Kampung Islam Kepaon tidak berlaku demikian karena adanya hak otoritas tersendiri sebagai Tanah adat meskipun mayoritas adat Bali.
Selain Bali tentang Hukum Tanah Ini berlaku juga di kampong Naga Garut Jawa Barat, Kampung yang terletak di daerah lemah tineung ini merupakan salah satu yang masih kental dengan budaya adat tentang Tanah, bagaimana tidak diwilayah ini tidak boleh tinggal kecuali hanya 40 Jiwa yang telah ditetapkan oleh kepala adat tidak boleh kurang tidak boleh lebih, meskipun seseorang memiliki ha katas tanahnya namun kepemilikan itu tidak berlaku apabila lebih dari batas maksimum orangnya, Kampung ini pun menerapkan banyak hal terkait dengan Pertanahan yakni dengan menetapkan tanaman apa saja yang harus ditanami dan diwajibkan dan apa apa saja yang tidak diperkenankan selain itu diwilayah ini tidak diperkenankan memakai benda modern yakni harus tetap seperti dulu kala karena mengganggap peninggalan nenek moyangnya sangat berharga, dan lainya di berbagai daerah.







25 Pergub Bali tentang Perayaan nyepi

Transaksi tanah

Dalam hal transaksi tanah satu adat dengan yang lainya di Indonesia memiliki kebergaman dalam hal apapun tergantung situasi adat yang berlaku, apabila diadat betawi transaksi tanah biasanya menggunakan Meter sebagai elemen penghitung yang dilakukan dalam pengukuran tanah pun demikian dengan kota-kota modern yang sekarang berkembang,namun ada beberapa daerah yang memiliki ketentuan tersediri dalam penentuan satuan ukuran di transaksi tanah , diantaranya di tataran Sunda Bungbulang,Tasik Malaya,Banjar dan sisi pringan Timur lainya penggunaan satuan Transaksi tanah terbiasa dengan satuan Tumbak yakni apabila di konversi kedalam meter 4 meter persegi. Berbeda dengan Wilayah Padalarang,Prwakarta, Bandung Barat,Cianjur dan sukabumi serta wilayah tataran banten yang masih eksis dalam transaksi Tanahnya menggunakan Satuan Are atau apabila di konversi per 100 Meter persegi di tataran masyarakat adat Gunung Mandala Giri Garut satuan Transaksi menggunakan patok atau 25 tumbak hal ini berlaku umum dan tidak ada yang menggugat dan demikian pula dengan daerah lainya yang memiliki karakteristik berbeda, dalam hal ini Islam tidak mempertetnangkan karena pada dasarnya perhitungan yang dimaksud merupakan consensus secara terbiasa dari masyarakat dan sudah di maklum oleh khlayak umum.

Transaksi yang bersangkutan dengan tanah

Dalam transaksi yang bersangkutan dengan tanah di tataran adat sunda ada beberapa dat yang masih dipercaya sebagian pihak, namun bersifat mistis dan tidak masuk akal, yakni masih ada di sebagian wilayah yang memepercayai tentang hari ketika menjual Tanah nya baik itu hari rebo kasan dan lainya sehingga masih ada hitung-hitungan magic yang tidak masuk akal dan cenderung dalam kemusyrikan di tanah jawa pun demikian dalam melakukan transaksi tanah harus meilhat tanggal jawa dimana dipercayaai sebagai salah satu pembawa berkah dan lainya hal ini justru bukan kategori sebgai yang dibenarkan karena menunjukan pada kepercayaan animisme, ada pula Sumbang sambaing,sambat Sinabat dan Panjer

Hukum perutangan

Dalam beberapa kebiasanaan yang sering terjadi terutama Ditataran Sunda terkait dengan Hutang piutang adalah adanya Manjer Hutang atau yang di kenal dengan membayar Hutang yang Satu Bulan Kebelakang tapi kita bawa lagi barang di hutang untuk bulan berikutnya atau di masayarakat Betawi di kenal dengan Gali lobang tutup Lobang, yang lebih parah lagi ada Istilah Naur Hutang yakni Belum dibayar Hutang Bulan sebelumnya tapi sudah mengambil barang untuk bulan berikutnya,hal ini yang tidak dibenarkan dalam Islam meskipun Bai At-Taqshit diperbolehkan namun Tradisi Naur Hutang merupakan Prilaku yang tidak baik dimana pembeli mendzalimi kepada penjual secara Masal selain itu sikap seperti Ini pula menumbuhkan sikap yang berlebihan yang tidak dibenarkan dalam Alquran.

Status badan pribadi

Di beberapa daerah tentang status Badan Pribadi terbagi menjadi dua secara kategori Makro yakni ada yang menganut pada status Marga,ada yang berkaitan pada status keturunan da nada yang berkaitan pada status suku,dalam adat batak masih berlaku beberapa suku dengan suku

yang lainya tidak diperkenankan untuk menikah meskipun saling mencintai hal ini didasari pada adanya prinsip kekerabatan didalam suku tertentu .di padang stus kedudukan Badan Pribadi khususnya di Minangkabau berlaku sistem Motherlinear atau garis menurut keturunan Ibu Sehingga hal ini akan berpengaruh pada sistem perkawinan yang dilakukan dimana Sang istrilah yang menjadi kepala keluarga dan menjadi wajib hukumnya untuk memberi mas kawin kepada sang lelaki Pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum yang sama, yang oleh Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan berhak” tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat pengecualian- pengecualian seperti :
Ø  Di Minangkabau orang perempuan tidah berhak menjadi Penghulu Andiko atau Mamak kepala waris.
Ø  Di daerah-daerah Jawa Tengah yang berhak menjadi kepala desa anakanak laki-laki.
Ø  Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojo Digoeno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”)
Ø  Menurt hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang sudah dewasa.
Ø  Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu. Soepomo memberikan cirri-ciri seseorang dianggap dewasa yaitu :
Ø  Kuat gawe (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya.
Ø  Cakap mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
Ø  Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya.
Ø  Di Jawa seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah mentas atau Mencar).
Ø  Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam Keputusannya tertanggal 16 Oktober 1998 menetapkan khusus bagi wanita untuk dapat dianggap cakap menyatakan kehendaknya sendiri sebagai berikut :
·         Umur 15 tahun
·         Masak untuk hidup sebagai isteri
·           Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatannya.
Keputusan Raad van Justitie tersebut menunjukkan adanya pemakaian dua macam criteria yaitu criteria barat dengan criteria adat, yang memberikan perkembangan baru bagi hukum adat khususnya mengenai criteria dewasa.

Badan Hukum Privat Wakaf

Yaitu suatu lembaga/badan yang bertugas untuk menurus harta kekayaan yang oleh pemiliknya diserahkan kepada masyarakat untuk digunakan bagi kepentingan umum masyarakat, yang biasanya digunakan untuk keperluan yang ada hubungannya dengan bidang keagamaan.
Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf, yaitu :

·         Mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar
·         Menentukan sebagian dari harta benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya.
Lembaga hukum wakaf ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karena itu maka pelaksanaannya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam seperti:
Ø  Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang ingin diwakafkan.
Ø  Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuan yang tidak bertentangan/ dilarang abaga, harus dijelaskan.
Ø  Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang.
Ø  Maksud harus tetap.
Ø  Yang menerima wakaf harus menerimanya (Kabul). Benda-benda yang dapat diwakafkan terdiri dari:
o   Tanah kosong untuk pemekaman umum, mesjid, surau atau tempat ibadah lainnya.
o   Rumah atau suatu bangunan tertentu berikut tanahnya yang akan diperuntukkan bagi kantor agama, mesjid, surau, madrasah-madrasah, sekolah keagamaan lainnya, asrama dan rumah pertemuan keagamaan lainnya.

Yayasan

Yaitu badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang social. Yayasan yang demikian dapat dibentuk dengan akta pembentukan. Contohnya sekarang banyak yayasan yang bergerak di bidang kematian, bidang pemeliharaan anak yatim dan sebagainya.

Koperasi

Yaitu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasrkan atas asas kekeluargaan (UU No. 25/ 1992) Koperasi berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan. Ternyata hukum perorangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut dua sumber hukum yaitu hukum adat Indoneis dan hukum yang berasal dari Belanda. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum perorangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk lebih menggali sumber-sumber hukum yang ada di Indonesia demi terbentuknya suatu hukum Nasional Indonesia.


Hukum kekerabatan

Sistem kekerabatan yang dianut kebanyakan masyarakat ada di Indonesia didasari oleh faktor geneologis yakni satu kesatuan hukum yang para anggotanya terikat sebagai satu persekutuan hukum tersebut yang merasa dari Nenek moyang yang sama. Sehingga dapat

disimpulkan ia mengikuti garis keturunan hukum adat. Ada bebrapa penerapan hukum kekerabatan menurut adat di Indonesia Kekerabatan Unilateral yaitu terdiri dari kekerabatan yang anggotanya hanya menarik garis yang sama yakni dari pihak ibu atau Matrilineal yang masih dianut masyarakat Minangkabau,Kerinci,Sumsel,Lampung dan paminggir . dan adapula yang berdasarkan garis keturunan ayah atau patrilineal yang masih diantut lengkap oleh Masyarakat Gayo,Batak,Nias,Pulau Buru,Pulau Seram,Lampung,Lombok dan bali.
Sementara itu adapula sistem kekerabatan yang berdasarlkan Parental atau Bilateral yakni anggotanya menuruti kedua garis keturunan atau campuran.
Sedangkan dalam Islam Garis Keturunan Atau Nasab seoarang anak didasari pada Ayah anak tersebut bukan pada garis ibu atau keduanya hal ini didasari karena pada hakikatnya yang membuahi adalah lelaki sedangkan posisi perempuan adalah sebagai penerima saja.
Selain itu adapula kebiasaan laniya Seperti Mengangkat Anak (Adopsi)
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri dan menimbulkan akibat hokum. Pengangkatan anak dibedakan beberapa macam yaitu :
Mengangkat anak bukan warga keluarga
a.       Anak yang diangkat bukan warga keluarga
Menyerahkan barang-barang magis dan sejumlah uang kepada keluarga anak
b.       Tujuan untuk melanjutkan keturunan
c.       Dilakukan secara terang artinya dilakukan dengan upacara adat disaksikan oleh kepala adat misalnya: daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.
Mengangkat Anak dari kalangan keluarga:
d.      alasan “takut tidak punya keturunan”
e.       Di Bali perbuatan ini disebut “nyentanayang”
f.        Biasanya anak selir-selir yang diangkat
g.       Melalui upacara adapt dengan membakar benang melambangkan
h.       hubungan dengan ibunya putus
i.        Diumumkan (siar) kepada warga desa Mengangkat anak dari kalangan Keponakan:
j.        tidak punya anak sendiri
k.       belum dikaruniai anak
l.        terdorong oleh rasa kasian
m.     perbuatan disebut “pedot” Jawa
n.       biasanya tanpa ada pembayaran
o.       Biasanya anak laki-laki yang diangkat.

Hukum perkawinan

Untuk memenuhi keperluan hidup somah, diperlukan harta kekayaan yang disebut harta perkawinan atau harta keluarga. Harta perkawinan atau harta keluarga dapat dibedakan dalam 4 golongan, yaitu:
·         Barang-barang yang diperoleh secara warisan atau penghibahan.
·         Barang-barang ini teteap milik suami atau isteri yang menerima warisan atau penghibahan.
·         Barang-barang ini hanya jatuh kepada anak-anak mereka sebagai warisan.
·         Kalau terjadi perceraian dan apabila tidak mempunyai anak, maka barang barang ini kembali kepada asalnya.
·         Barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri
·         Barang-barang ini diperoleh suami atau isteri sebelum kawin
·         Barang-barang diperoleh dalam masa perkawinan
·         Kekayaan milik bersama disebut :
Ø  Harta suarang (Minangkabau)
Ø  Barang perpantangan (Kalimantan)
Ø  Barang cakkara (Bugis)
Ø  Harta gonogini (Jawa)
Ø  Guna kaya, campura kaya, barang sekaya (Sunda)
Milik bersama isteri adalah semua kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan asalkan kedua-duanya bekerja kepentingan somah. Walaupun seorang isteri hanya bekerja dirumah mengurus anak-anak, mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja juga. Semua kekayaan yang diperoleh suami menjadi milik bersama. Suami telah menerima bantuan yang sangat berharga serta memperlancar pekerjaan suami sehari-hari. Yurisprudensi M.A. tanggal 7 November 1956, mengatakan: Semua kekayaan selama berjalannya perkawinan, merupakan harta gono gini, biarpun hanya kegiatan suami saja.
Ø  Menurut hukum adat suami isteri cakap melakukan perbuatan hukum, misalnya transaksi barang-barang campur kaya dapat dilakukan oleh isteri apabila suami tidak ada ditempat dan isteri disini bukan mewakili suami yang akan tetapi sebagai pemilik sendiri. Jadi,ia cakap mengambil keputusan sendiri.
Ø  Hak milik bersama dapat dipakai untuk membyar hutang baik hutang suami maupun hutang isteri apabila harta gonogini tidak cukup, maka dapat dipakai harta asal.
Pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian:
Ø  Prinsipnya milik bersama dibagi antara kedua belah pihak masing-masing pada umumnya mendapat separuh.
Ø  Ada beberapa daerah yang mempunyai kebiasaan sedemikian rupa sehingga suami lebih besar dari pada isterinya yaitu dua- pertiga untuk suami dan sepertiga untuk isteri, yang disebut “sagen dong sapikul” (Jawa).

Ø  Kebiasaan sagendong sapikul lambat laun berubah akibat kesadaran masyarakat dan masalah ini tidak sesuai dengan kesadaran adanya persamaan hak.
Ø  Keputusan Mahkamah Agung tangga 25 Pebruari 1959 Reg. No. 387 K/Sip/1960 menyatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang janda mendapat separuh dari harta gono gini.
Ø  Selanjutnya Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip/1960 menetapkan bahwa harta pencaharian itu harus dibagi sama rata antara suami isteri.
Ø  Apabila salah seorang (suami atau isteri) meninggal biasanya semua harta bersama dibawah kekuasaan yang masih hidup guna keperluan hidupnya.
Ø  Selama seorang janda belum kawin lagi barang-barang bersama dikuasai olehnya tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin hidupnya (Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juli 1959 Reg. No. 189 K/Sip/1959.
Ø  Hal yang menarik di Padang minangkabau perkawinan disyaratkan Istri yang membayar mas kawin atas suami
Ø  Di Sulawesi mahar perkawinan ditentukan atas kasta yang berlaku semakin tinggi sang anak kedudukanya maka semakin besar mahar yang harus dibayar
Ø  Di sunda pengantin harus menempuh jalur adat yakni saweran dan lainya
Ø  Di sasak ada adat yang tidak sesuai islami yakni Adat menculik Wanita dimana tanpa sepengatahuan orang tuanya apabila sudah diculik maka wajib hukumnya bagi orangtua perempuan untuk menikahkanya dengan orang yang menculiknya
Hal ini tentu sangat tidak etis dan bertentangan dengan Syariat.

Hukum waris

Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
Ø  Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut “penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan.
Ø  Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris
Ø  Adanya persamaan hak para ahli waris
Ø  Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
Ø  Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.
Ø  Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
Sistem kewarisan individual, Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris seperti dalam masyarakat di Jawa ada pula Sistem kewarisan kolektif Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris, misalnya harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi- bagikan hanya dapat dipakai atau hak pakai serta Sistem kewarisan mayorat Harta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada salah satu anak saja. Sistem kewarisan

mayorat dibagi dua yaitu, mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak laki- laki dan Mayorat perempuan yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.
Sedangkan tata cara penghibahan atau Pewarisan yang berdasar pemberian hibah adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk memberikan kepastian hukum.
Hibah ada dua macam yaitu :
Ø  Hibah biasa yaitu pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup.
Ø  Hibah Wasiat yaitu pelaksanaannya setelah pewaris meninggal dunia harta tersebut baru diberikan. Keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1960 Reg. No. 225 K/Sip/1960 menetapkan syarat-syarat hibah yaitu :
Ø  Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris
Ø  Hibah tidak menyebabkan ahli waris yang lain menjadi kehilangan hak atas harta kekayaan tersebut.
Para ahli waris
Yang menjadi ahli waris yang terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung ini maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Mengenai pembagiannya menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember 1961 Reg. No. 179 K/Sip/61 anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Hukum adat waris iini sangat dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yaitu matrilineal dan patrilineal.Di daearah Minangkabau yang menganut system matiarchaat, maka apabila suaminya meninggal, maka anak-anak tidak merupakan ahli waris dari harta pencahariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga anggota famili ibunya sedangkan bapaknya tidak, sehingga harta pencahariannya jatuh pada sausarasaudara sekandungnya.
Di Bali, hanya anak laki-laki tertua yang menguasai seluruh warisan, dengan suatu kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Di Pulau Savu yang bersifat parental harta peninggalan ibu diwarisi oleh anak-anak perempuan dan harta peninggalan bapak diwarisi anak laki-laki.
Beberapa Yurisprudensi tentang adat waris yakni Keputusan M..A. tanggal 18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959 mengatakan:’’Hak untuk mengisi/ penggantian kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari pada yang meninggalkan warisan adalah ada pada keturunan dalam garis menurun. Jadi cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya’’. Keputusan
M.A.   tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959 mengatakan:’’ Penggatian waris dalam garis keturunan ke atas juga mungkin ditinjau dari rasa keadilan.
Pada dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa keadilan masyarakat dan berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orang tua dan sebaliknya. Didalam masyarakat adat dikenal juga apa yang disebut dengan :
Ø  anak angkat

Ø  anak tiri
Ø  anak di luar kawin
Ø  kedudukan janda
Ø  kedudukan duda Anak Angkat:
Kedudukan hukum anak angkat di lingkngan hukum adat di beberapa daerah tidak sama Di Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan hak anak dari pertalian orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dengan tujuan untuk melanjutkan keturunannya. Di Jawa perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukkan anak itu kekehidupan rumah tangganya saja, sehingga anak tersebut hanya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, dan tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Jadi bukan untuk melanjutkan keturunan seperti di Bali. Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).


Anak Tiri
Anak tiri yang hidup bersama dengan ibu kandungnya dan bapak tirinya atau sebaliknya adalah warga serumah tangga pula. Terhadap Bapak atau ibu kandungnya anak itu adalah ahli waris, tetapi terhadap bapak atau ibu tirinya anak itu bukanlah ahli waris melainkan hanya warga serumah tangga saja.Hidup bersama dalam suatu rumah tangga membawa hak-hak dan kewajiban- kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiri berhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian sebaliknya.
Anak yang lahir diluar Perkawianan:
Anak yang lahir diluar perkawinan hanya menjadi ahli waris dari ibunya.
Kedudukan Janda;
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matrialineal: harta warisan suaminya yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
Di Daerah Tapanuli dan Batak:
Ø  Isteri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
Ø  Anak yang belum dewasa dibawah kekuasaan ibunya dan harta kekayaan anak dikuasai ibunya.
Ø  Janda wajib tetap berada dalam ikatan kekelurgaan kerabat suaminya, bahkan sering janda menjadi isteri dari saudara suaminya.

Kedudukan Duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri. Di Daerah Batak dan Bali suami berhak atas warisan isterinya yaitu barang-barang yang dulu dibawa oleh isterinya. Di Jawa duda berhak mendapat nafkah dari harta kekayaan rumah tangga setelah isterinya meninggal dunia.

Kebiasaan Dalam ber Muamalah

belum ditambahkan para ilmuan adalah kebiasaan masyarakat dalam bermuamalah yakni ada beberpa poin yang tidak diperkenankan dalam Islam salahsatunya kebiasaaan memebeli barang atau tanaman yang ada didalam tanah hal ini menimbulkan Ghrarar dan tidak diperlkenankan dalam Islam lalu membeli Ikan yang masih di kolam dengan teplak, kejadian ini masih sering dan menjadi hal lumrah di daerah Selatan Jawa Barat.dan yang tidak kalah penting adalah kebiasaan di pasar tentang pemindahan barang dari gudang yang disinyalir suka menimbulkan Konflik karena perhitungan hal-hal tersebut masih eksis di masyarakat karena menganggap biasa saja.


Penutup

Pada dasarnya pemkaian al-‘Adah atau al-‘‘Urf sebagai pijakan dalam penetapan atau penerapan suatu ketentuan hukum ( محكمة العادة ) ada lah dalam pengertian sebagai penun jang” saja, bukan sebagai landasan yu– ridis atau perangkat metodologis otonom yang dapat menghasilkan ketetapan hukum shari’ah secara mandiri (tentu jika sesuai dengan ketentuan- ketentuan pene– rapan yang telah ditetapkan), maka bisa dikatakan, bahwa penerapan al-‘A dah atau al-‘Urf dalam hakikatnya adalah penerapan dalil-dalil syar’i itu sendiri yang bisa berbentuk ijma’, qiyas khafi atau istihsan, istislah dan sad al-Dhari’ah, yang kesemuanya adalah mu’tabarah sebagai hujjah shar’iyyah
Islam memberikan Cakupan batasan sesuai yang telah ditentukanAlquran dan Sunnah maka sejatinya Adat lah yang harus mengikuti pada Budaya Islam bukan islam yang harus mengikuti adat karena pada dasarnya apa yang diatur dalam alquran memberikan pengertian bahwa kita adalah sebgai makhluk yang memerlukan petunjuk dan setiap petunjuk ada didalam Aquran dan Sunnah nya
Daftar Pustaka
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 177.
Arthur, Schiller A dan E Adamson Hoebel, Adat Law In Indonesia, (Jakarta, Bhratara1962) Prof.Dr, Van Dijk, R, , Pengantar Hukum Adat Indonesia,( Bandung, Sumur Bandung. 1982) Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, Saiful Azil FTK UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ibn al-Manzur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar Lisan al-Arab), 959/PHN&Seminar International FTK Papper
A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010)

Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah fiqih Konseptual, Abdul Haqim dkk (Surabaya; Khalista, 2009),
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Pustaka Jakarta
Ahmad ibn Muhammad Al-Zarqa Sharh al-Qawa ’id alFiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam 1996)
Moh Rifa’i, Ushul Fiqh (Semarang: Wicaksana, 1984),
Ibrahim Ibn Musa Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul alAhkam Jilid II (Bairut: Dar al-Fikr) Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978)
http/:www.Sarjana.com diakses 27 Januari 2017
Pengantar dan Asas- Asas Hukum Adat Di Indonesia, Bewa Ragawino, SH,MSi, Jurnal Unpad 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahabbah

 Cinta itu  laksana sebuah perang,  amat mudah mengobarkannya,  namun amat sulit untuk memadamkannya   Ketika kita mencintai,  perasaan kita...