Rabu, 26 Oktober 2016

Opinion: The Problem with Halal Certification



Opinion: The Problem with Halal Certification
By Abdalhamid Evans, Senior Strategist, Imarat Consultants UK – Founder, HalalFocus
Description: Food grab 2Like a picture on an inflating balloon, the shortcomings within the Halal industry are getting bigger as the market expands.
There is no doubt that it is expanding. The DinarStandard-Thomson Reuters Report on The State of the Global Islamic Economy 2013 valued the Halal Food and Beverage market at just under $1.1 trillion. The same report expects the market to be worth $1.626 trillion in 2018.
There is a core customer base of 1.65 billion Muslims scattered across the globe, a population that is growing at twice the rate of the global average. 61% of this growing population is under the age of 30. This is an underserved and under-recognised market that is now –finally– getting the attention of governments, MNC’s, entrepreneurs and investors across the world. Not to mention an increasingly aware and vocal consumer base who now have access to an unprecedented level of information on the subject.
The foundation of this market is in compliance with Halal parameters. The self-appointed guardians of this compliance are the Certification Bodies, most of which fall into two categories: Government linked authorities and private sector businesses.
The government linked bodies, such as JAKIM in Malaysia, MUIS in Singapore, MUI in Indonesia have a monopoly on the audit process and the issuance of certificates. They are not monitored by any higher authority, and are naturally prone to the usual levels of inefficiency and potential for corruption that characterises any government agency anywhere.
The private sector CB’s that operate in the non-Muslim food exporting countries are self-appointed entrepreneurial Muslim businesses and mosque linked organisations who have recognised the significant profits that can be derived from the Halal certification business.
These private sector CB’s claim that all Halal food producers needs to be certified by them in order to demonstrate to their customers that their products are indeed Halal. They do not approve of food producers that self-certify. They engage in tactical battles with their competitors, usually by trumpeting their own adherence to the Shariah and Sunnah of Islam, and by pointing out the shortcomings and deviations of their competitors.
The problem with both these groups of CB’s (with the possible exception of Australia and New Zealand) is that they themselves are all self certified. They conduct the audits, issue the certificates and send their invoices all without any outside supervision by any form of accreditation body. The Halal marketplace is riddled with stories of bullying tactics and conflicts of interest
This scenario is at odds with the accepted norms of the mainstream food and beverage industry. Compliance to HACCP, GMP, GHP, BRC standards is normally done via third-party audits; ie the audit process is separated from the issuance of the certificate of compliance, and the auditors themselves are required to be an accredited body, recognised by the likes of UKAS in the UK and ANSI in the USA. The certifiers themselves are certified, and it is visible by the double logos, one for the auditor, and another for the accreditation body that can be seen on mainstream food packaging.
Until a similar degree of oversight is practiced in the Halal sector, there will continue to be fraud, infighting and a lack of both consumer and investor confidence in the Halal market space.
This is not necessarily the direct fault of the CB’s. They have emerged out of a need, and have evolved along with the market, and the problems are, for the most part, systemic and structural rather than intentional or devious. What is missing is the kind of leadership from governments and Islamic institutions that can bring the Halal sector practices up to speed with the normative practices of the non-Halal mainstream market.
The Halal standards that have been developed by Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC) and the Organisation of Islamic Cooperation (OIC), currently under the secretariat of the Emirates Standards and Metrology Authority (ESMA) may…against all previous odds…be in a position to bring a solution to this problem.
If (and we will see how big an if this turns out to be) the GCC countries adopt the SMIIC-OIC standards, then the tide will start to change. These standards cover not only food production, but, significantly, the parameters for both Certification Bodies and Accreditation agencies. They lay down a very specific set of guidelines for CB’s, and furthermore, they require the CB’s to be compliant with ISO 17021: Conformity Assessment – Requirements for bodies providing audit and certification of managements systems.
For most independent CB’s operating in the non-Muslim food exporting nations, this may well turn out to be a significant watershed. CB’s around the world will in all probability be required to participate in the scheme that accompanies these standards. It may well be that the bigger multi-national auditing companies, such as Intertek and SGS, will see this as the long-awaited opportunity to gain a stable foothold in a market that has long eluded them…something that would be a real blow to the independent Muslim-led CB’s
Even the JAKIM’s and MUI’s of this world may struggle with ISO compliance…
If these standards do become the passport to entry into the valuable export markets of the GCC ($81 billion in annual F&B expenditure in 2012), then these new parameters will get the attention of all the major food exporting countries and companies in the world.
If these are actually adopted and enforced by the OIC, it will impact the $191 billion spent annually on food imports by the 57 OIC member countries.
Whether this happens remains to be seen. The OIC has in the past not enjoyed a reputation for dynamic action. However, if the OIC-SMIIC-ESMA linkage gets the support of the UAE, spurred on by Dubai’s push to be the capital of the Global Islamic Economy, then the usual dynamics (or lack thereof) may well change. A new kind of horsepower may well kick-in.
With national agendas and national pride on the one hand, and the world’s biggest food companies on the other, it is likely that the rules of the game that have been in operation for the past few decades in the Halal sector may well be about to change.
Whatever the case, for the CB’s, the days of operating without any regulatory oversight may well be coming to an end. Time will tell.

Kamis, 20 Oktober 2016

Taxpayer Obligations In Indonesia

 Hai guys ane mau share nih Jenis dab pemungutan pajak serta kewajiban pajak 
gak sengaja tadi di jalan ada yang nanya ............
 
Jenis dan macam pajak yang berlaku di Indonesia 

kalau dilihat daria siapa pemungutnya bervariatif guys , yang dibedakan jadi dua Golongan kanan dan golongan Kiri haha Bercanda Guys mana Bold lagi hehe yu Di simak
Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. 
Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat, akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak derah, akan dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :
1. Pajak Penghasilan ( PPh )
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPnBM )
Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat  berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Pertambangan dan Perhutanan (PBB P3)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor ;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Air Permukaan;.
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir.
h. Pajak Air     
i. Pajak sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
2. Berdasarkan pembayarnya, Pajak dapat dibagi dua golongan, yaitu :
1. Pajak langsung ialah pajak yang harus dipikul sendiri oleh si wajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya : pajak seorang pengusaha dibayar dari pendapatan atau labanya sendiri sehingga pada dasarnya pajak ini tidak menaikkan harga barang yang diproduksi oleh pengusaha itu.
Contoh pajak langsung : pajak penghasilan, pajak kekayaan, pajak rumah tangga, pajak perseroan, pajak bumi dan bangunan dan sebagainya.
2. Pajak tidak langsung ialah pajak yang dibayar oleh si wajib pajak tetapi oleh wajib pajak ini dibebankan kepada orang lain yang membeli barang-barang yang dihasilkan olehnya. Pajak ini akhirnya dapat menaikkan harga, karena dibebankan kepada pembeli dan karena itu hanya dibayar kalau terjadi transaksi yang menimbulkan pajak tersebut. Misalnya : pajak pertambahan nilai, pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea balik nama dan sebagainya.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban pajak itu timbul setelah memenuhi dua syarat, yaitu :
a. Kewajiban pajak subyektif ialah kewajiban pajak yang melihat orangnya. Misalnya : semua orang atau badan hukum yang berdomisili di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif.
b. Kewajiban pajak obyektif ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dikenakan pajak. Misalnya : orang atau badan hukum yang memenuhi kewajiban pajak kekayaan adalah orang yang punya kekayaan tertentu, yang memenuhi kewajiban pajak kendaraan ialah orang yang punya kendaraan bermotor dan sebagainya.
Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.
Kewajibanya GIMANA YAAAA ??
yUK Di simak lagi
selain tadi ada Istilah Tiga M untuk Kewajiban
KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI
Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan No Pokok Wajib Pajak. Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui E-rEGISTRASION , yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- setahun. Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dapat juga melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Bagi pengusaha yang telah diukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN dari setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN yang sudah dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) dan apabila ternyata ada PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor terlebih dahulu sebelum dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. KPP atau KP2KP akan melakukan penelitian mengenai keberadaan dan kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP tersebut.
KEWAJIBAN PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

Jatuh tempo pembayaran dan pelaporan pajak
 KEWAJIBAN DALAM HAL DIPERIKSA
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
2. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik.
3. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
4. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
6. Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
 KEWAJIBAN MEMBERI DATA
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak  Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

HAK ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
  
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
1. Melalui Surat Pemberitahuan (SPT),
2. Dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.
HAK DALAM HAL WAJIB PAJAK DILAKUKAN PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
- Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
- Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
- Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
- Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT
- untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
  HAK UNTUK MENGAJUKAN KEBERATAN, BANDING & PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.
HAK-HAK WAJIB PAJAK LAINNYA
- Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
- Hak Untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.
- Hak Untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.
- Hak Untuk Pengurangan PPh Pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
- Hak Untuk Pengurangan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang. Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat.
- Hak Untuk Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/ pemungutan Pajak Penghasilan.
- Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.
- Hak Untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
- Hak Untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

Calculation of Income Tax PPH 21



Yuk Di Hitung Pph 21 nya dan dibayarkan Yaaaaaa

 Halooo sahabat Sekarang mimin mau kasih info nih dari apa  yang banyak ditanyain sama enya encing babeh di kampung yakni itung itungan kalau bayar pajak PPH 21 hmmm maklum enya agak sulit kan kalau di kampung yuk kita lirik 

Sebagai Contoh pph 21 nya kira kira sebut saja namanya dadang  Karyawan Tetap di Elisa Mart, Bukan Pegawai, Pekerja Lepas Harian yaa karena ia posisinya demikian lah kalau sesuai kriteria sebagai Informasi Wajib pajak pak dadang nya kira kira demikian



  Bekerja Sejak Awal Tahun - Karyawan Tetap

 Dadang, Menikah Tanpa Anak,Punya NPWP, Bekerja sejak Januari

 Gaji
                            9,500,000
 Membayar Iuran Pensiun Sendiri
                               450,000
 Perusahaan ikut Program Jamsostek :

 Jaminan Kecelakaan Kerja :
 0,6% dari Gaji Pokok
 Jaminan Kematian :
 0,5% dari Gaji Pokok
 Jaminan Hari Tua :
 4,7% dari Gaji Pokok
 Jaminan Hari Tua dibayar sendiri :
 4% dari Gaji Pokok
 Premi ke Dana Pensiun dibayar Perusahaan
                               450,000


kira kira berapa yaa  PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong di Masa Januari 2015 atas Dadang..!!
ayo kita lihat jawabanya yaa 
Jawab :
Gaji sebulan                                          Rp 9.500.000
Jaminan Kecelakaan Kerja                   Rp       57.000
Jaminan Kematian                                   Rp       47.500 +
Penghasilan Bruto                                                         Rp 9.604.500

Pengurang PPH 21
Biaya Jabatan (5% X Penghasilan bruto)           RP    475.000
Jaminan Hari Tua dibayar Sendiri               Rp    380.000 +
Jumlah Pengurang PPH 21                                            Rp     855.000 –

Penghasilan Netto                                                         RP 8.749.500
PTKP K/0 per bulan                                                   
(54.000.000+4.500.000)/12                                        Rp  4.875.000  -

Penghasilan Kena Pajak                                                            RP. 3.874.500
PPH 21 Terutang
(5% X Penghasilan Kena Pajak)                                               Rp. 193.725




Nah, kalau tadi pak dadang karyawan tetap yuk kita tilik gimana kalau profesional sebut saja
Pak Taufik Berprofesi sebagai Trainer pajak. Di bulan maret pak taufik mendapatkan
project menjadi trainer pajak di PT Pertamina Persero,. Pak taufik sebagai trainer dalam
3 hari., Honor yang pak taufik terima dari PT Pertamina Persero adalah Rp 100.000.000 dalam satu hari menjadi trainer.,  Pak Taufik Sudah Menikah Belum Mempunyai Anak. Dan beliau menjadi trainer tidak hanya di pertamina saja, tetapi di perusahaan lain.,

Berapakah PPh 21 yang mesti PT Pertamina Potong atas Honor Pak Taufik ???


Jawab 
PPH 21 terutang yang mempunyai NPWP
15%X 50% X 300.000.000                                                              RP 22.500.000

PPH 21 Terutang yang tidak mempunyai NPWP
15% X 50 % X 120% X  300.000.000                                    RP 27.000.000



Hmm Terus Gimana yaa kalau sama yang upah harian dan dibayar bulanan  ???????
 Contoh saja nih Pak  Budi Bekerja sebagai buruh harian di PT Dudung Stheven,. Upah Hariannya dibayar setiap bulan
perbulannya adalah Rp 7.000.000., pak budi menikah dengan 1 anak

Berapakah PPh 21 yang mesti di potong oleh PT Dudung Stheven ??? Dan berapa Take Home Pay nya Coba ?

PPH 21 terhutangnya
Gaji sebulan                                                      Rp 7.000.000

Pengurang                               
Biaya  Jabatan 5% X 7000.000                                    Rp. 350.000 _-
Penghasilan netto sebulan                                      Rp 6.650.000

Penghasilan netto setahun 12 X 6.650.000        Rp 79.800.000
PTKP K/1                                          
(54.000.000 + 4.500.000+4.500.000)                  Rp. 63.000.000 -
Penghasilan kena pajak setahun                         Rp  16.800.000

Utang Pajak
NPWP
Non NPWP
Pph 21 setahun
5% X 16.800.000 = 840.000
5% X 120% 16.800.000 = 1.008.000
PPH 21 sebulan
840.000 /12 =70.000
1.008.000 / 12 = 84.000

Maka take home paynya adalah  Rp 6.650.000 – Rp 70.000 = 6.580.000



Oke Guys Gitu DULU Yaaa itung itunganya Mimin agak pusing nih jadi Perlu ngopi dulu kayaknya 
sampai jumpa yaaaaaa

Mahabbah

 Cinta itu  laksana sebuah perang,  amat mudah mengobarkannya,  namun amat sulit untuk memadamkannya   Ketika kita mencintai,  perasaan kita...