Jumat, 30 September 2016

Pandangan Islam Tentang Pajak Dan Kebijakan Tax Amnesty


Pendapatan Negara Menurut Islam dan Tinjauan Tax Amnesty dalam pandangan Islam
Oleh : Tri Aji Pamungkas Al-Azhary

Pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: [1] Ghanimah, [2] Fay’i,  dan [3] Shadaqah atau Zakat (lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa).  Fay’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu [1] Kharaj; [2] ‘Usyr dan; [3] Jizyah. Berikut uraian tentang berbagai jenis pendapatan tersebut. Ghanimah, adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Ghanimah dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. [8]:41, yang turun saat usai perang Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, yaitu 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah SWT, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan Ibnu Sabil. Dari Ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarga beliau, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain. Fay’i adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, oleh karenanya, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fay’i pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Pada awalnya seluruh tanah taklukan pemerintah Islam, dirampas dan dijadikan milik negara. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab berijtihad, tidak lagi merampasnya jadi milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut. ‘Ushr adalah bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat. Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala adalah Pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS.[9]:29. Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaan Zakat Mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Demikianlah sumber-sumber pendapatan negara yang utama dalam Sistem ekonomi Islam. Disamping pendapatan utama (primer) ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh tidak tetap, yaitu: ghulul, kaffarat, luqathah, waqaf, uang tebusan, khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain. Dengan Sistem Ekonomi Islam seperti demikian, negara mengalami surplus dan kejayaan, antara lain dizaman Khalifah Umar bin Khattab  (634-644 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan sebagai puncak keemasan dinasti Abbasiyah adalah tatkala dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803 M).

Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam, Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Mengapa Pajak (Dharibah) ini muncul? Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak, yaitu:
Pertama, Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah).
Kedua,Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk  kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi, mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad SAW. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup.
Ketiga, Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak.
Keempat,Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah). Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan, yaitu Utang atau Pajak. Utang mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang.  Inilah alasan-alasan yang memunculkan ijtihad baru dikalangan fuqaha, berupa Pajak (Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27, hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789). Sungguhpun Pajak (Dharibah) diperbolehkan oleh ulama, namun ia harus tetap dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam. Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi artinya,”Laa yadkhulul jannah shahibul maks”, yang artinya Tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim), (HR. Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no. 1668). Petugas pajak yang dzalim adalah yang memungut pajak  di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Layaknya seperti preman yang meminta uang palak kepada pedagang-pedagang  pasar. Petugas pajak yang yang memungut uang tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul maks” atau petugas pajak yang dzalim. Sedangkan Pajak (Dharibah) yang dibuat oleh pemerintah (Ulil amri) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dengan berpedoman kepada Syari’at Islam dibolehkan dengan dasar ijtihad.
Dalam Konteks kekinian seperti di Indonesia pajak merupakan Iuran wajib yang diberlakukan negara kepada rakyatnya dengan berbagai prosedur dan persyaratan yang telah di tetapkan dalam Undang-Undang,disamping itu Pajak merupakan pendapatan negara terbesar dan peyumbang anggaran APBN terbesar dari tahun ke tahun di banding dengan yang lainya,Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara  berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim  untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang  telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Lalu bagaimana Dengan Tax Amnesty Yaa ?????
Tax Amnesty Adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Berlaku Global - Tax amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax liability (including interest and penalties) relating to a previous tax period or periods and without fear of criminal prosecution. Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Latar belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; 
  • Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
  • Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax amnesty tersebut maka presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan Undang Undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Wah-wah lumayan Rumit juga ya Tax Amnesty ini karena disamping pemerintah terkesan mengejar setoran serta mengamankan roda perekonomian negara dengan mengajak kembali para pemilik uang untuk kembali ke Indonesia .
Pandangan secara Fiqih Kontemporer sebagaimana penjelasan diatas terkait asal mula adanya pajak dan penggunaanya serta sfesifikasinya maka hukum memebayar pajak bisa menjadi Wajib,Sunnah Muakadah bahkan Sunnah serta haram tergantung dari posisi subjek pajak nya dan kategori objek pajak harus yang di luar dengan Harta yang di zakati atau telah selesainya dalam pembayaran zakat, usut punya usut yang di utamakan adalah zakat dulu untuk menambah devisa baitul maal. Tapi kalau sudah banyak kurang maka kebijakan Kharaj atau Dharibah bisa di lakukan. Lalu bagaimana dengan negara yang telah gunakan pajak sebagai iuran dan pendapatan utama negara seperti di Indonesia Ini ???
Maka jawabanya Bisa Wajib dan Bisa hanya sekedar Sunnah, tinjauan prespektif agama dalam hal Ini Islam sebagai mana keterangan diatas pajak akan menjadi wajib apabila baitul mal kosong dan dibebankan kepada masyarakat melalui persyaratan dan kriterianya jika demikian,maka Kebijakan Tax Amnesty bertentangan prinsip awalnya, berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar). Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
dan firman-Nya,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
  1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
  2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
  3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at
Dengan Demikian secara pandangan agama dengan kondisi yang ada saat ini maka tidak tepat menerapkan Tax Amnesty melainkan harusnya sesuai dengan kaidah,,,
Loh loh gitu yaa
Tapi jangan lupa sob pandangan strategis nya, Menurut pandangan ini diperbolehkan untuk mengambil syiasat asalkan tujuan utama adalah untuk masyarakat dan kemakmuran negara,kami harapkan kebijakan ini dapat di sukseskan sebagai mestinya (TAP_IsEF_FJ)





Pandangan Islam Tentang Pajak Dan Kebijakan Tax Amnesty

Pendapatan Negara Menurut Islam dan Tinjauan Tax Amnesty dalam pandangan Islam 
Oleh : Tri Aji Pamungkas Al-Azhary

subjek dan objek tax amnesty dalam pengertian tax amnesty adalahPendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: [1] Ghanimah, [2] Fay’i, dan [3] Shadaqah atau Zakat (lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa). Fay’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu [1] Kharaj; [2] ‘Usyr dan; [3] Jizyah. Berikut uraian tentang berbagai jenis pendapatan tersebut. Ghanimah, adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Ghanimah dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. [8]:41, yang turun saat usai perang Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, yaitu 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah SWT, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan Ibnu Sabil. Dari Ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarga beliau, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain. Fay’i adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, oleh karenanya, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fay’i pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Pada awalnya seluruh tanah taklukan pemerintah Islam, dirampas dan dijadikan milik negara. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab berijtihad, tidak lagi merampasnya jadi milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut. ‘Ushr adalah bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat. Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala adalah Pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS.[9]:29. Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaan Zakat Mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Demikianlah sumber-sumber pendapatan negara yang utama dalam Sistem ekonomi Islam. Disamping pendapatan utama (primer) ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh tidak tetap, yaitu: ghulul, kaffarat, luqathah, waqaf, uang tebusan, khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain. Dengan Sistem Ekonomi Islam seperti demikian, negara mengalami surplus dan kejayaan, antara lain dizaman Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan sebagai puncak keemasan dinasti Abbasiyah adalah tatkala dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803 M). Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam, Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Mengapa Pajak (Dharibah) ini muncul? Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak, yaitu: Pertama, Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah). Kedua,Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi, mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad SAW. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup. Ketiga, Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak. Keempat,Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah). Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan, yaitu Utang atau Pajak. Utang mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang. Inilah alasan-alasan yang memunculkan ijtihad baru dikalangan fuqaha, berupa Pajak (Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27, hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789). Sungguhpun Pajak (Dharibah) diperbolehkan oleh ulama, namun ia harus tetap dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam. Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi artinya,”Laa yadkhulul jannah shahibul maks”, yang artinya Tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim), (HR. Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no. 1668). Petugas pajak yang dzalim adalah yang memungut pajak di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Layaknya seperti preman yang meminta uang palak kepada pedagang-pedagang pasar. Petugas pajak yang yang memungut uang tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul maks” atau petugas pajak yang dzalim. Sedangkan Pajak (Dharibah) yang dibuat oleh pemerintah (Ulil amri) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dengan berpedoman kepada Syari’at Islam dibolehkan dengan dasar ijtihad. Dalam Konteks kekinian seperti di Indonesia pajak merupakan Iuran wajib yang diberlakukan negara kepada rakyatnya dengan berbagai prosedur dan persyaratan yang telah di tetapkan dalam Undang-Undang,disamping itu Pajak merupakan pendapatan negara terbesar dan peyumbang anggaran APBN terbesar dari tahun ke tahun di banding dengan yang lainya,Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Lalu bagaimana Dengan Tax Amnesty Yaa ????? 
Tax Amnesty Adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Berlaku Global - Tax amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax liability (including interest and penalties) relating to a previous tax period or periods and without fear of criminal prosecution. Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Latar belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; 
  • Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
  • Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax amnesty tersebut maka presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan Undang Undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Wah-wah lumayan Rumit juga ya Tax Amnesty ini karena disamping pemerintah terkesan mengejar setoran serta mengamankan roda perekonomian negara dengan mengajak kembali para pemilik uang untuk kembali ke Indonesia .
Pandangan secara Fiqih Kontemporer sebagaimana penjelasan diatas terkait asal mula adanya pajak dan penggunaanya serta sfesifikasinya maka hukum memebayar pajak bisa menjadi Wajib,Sunnah Muakadah bahkan Sunnah serta haram tergantung dari posisi subjek pajak nya dan kategori objek pajak harus yang di luar dengan Harta yang di zakati atau telah selesainya dalam pembayaran zakat, usut punya usut yang di utamakan adalah zakat dulu untuk menambah devisa baitul maal. Tapi kalau sudah banyak kurang maka kebijakan Kharaj atau Dharibah bisa di lakukan. Lalu bagaimana dengan negara yang telah gunakan pajak sebagai iuran dan pendapatan utama negara seperti di Indonesia Ini ???
Maka jawabanya Bisa Wajib dan Bisa hanya sekedar Sunnah, tinjauan prespektif agama dalam hal Ini Islam sebagai mana keterangan diatas pajak akan menjadi wajib apabila baitul mal kosong dan dibebankan kepada masyarakat melalui persyaratan dan kriterianya jika demikian,maka Kebijakan Tax Amnesty bertentangan prinsip awalnya, berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar). Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
dan firman-Nya,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
  1. Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
  2. Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
  3. Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at
Dengan Demikian secara pandangan agama dengan kondisi yang ada saat ini maka tidak tepat menerapkan Tax Amnesty melainkan harusnya sesuai dengan kaidah,,,
Loh loh gitu yaa
Tapi jangan lupa sob pandangan strategis nya, Menurut pandangan ini diperbolehkan untuk mengambil syiasat asalkan tujuan utama adalah untuk masyarakat dan kemakmuran negara,kami harapkan kebijakan ini dapat di sukseskan sebagai mestinya (TAP_IsEF_FJ)
 

Kamis, 01 September 2016

Diskusi Dengan Para PeJuang 45


Sebagaimana kita ketahui Negeri ini di jajah banyak penjajah dan banyak pemberontakan dan saya baru tahu guys kita aman ternyata tahun 61 an lho ,,
Fakta ini didapat dari diskusi dengan salah satu istri "HOKADE" yakni HOKADE Alm.Inen Sutisna yang tak lain kakek saya semoga Rahmat atas perjuangan nya ...
Wah teman teman2 pasti mengira Hokade hanya ada di film Naruto saja Ya hehe
Perlu teman2 ketahui era 45 Indonesia punya banyak nama pasukan lho mulai dari Brawijaya,infanteri dan tingkat kavaleri lainya dan ada juga pasukan yang dari Rakyat yakni Peta,OPR,HOKADE dan nama lainya,
Di tempat saya kp Renteng Desa Cikandang dahulu kala menjadi pusat Tentara pertahanan Belanda di era penjajahanya yakni "Kandang" orang disini menyebutnya kandang Walana karena disini ada sekitar 3 ribuan hektar perkebunan teh,kina dan rempah lainya yang kini di miliki BUMN dengan nama nya teh "WALINI" Wah wah hampir mirip Lho ???
Dulu Hokade Inen sutisna dengan Hokade lainya yang tidak bisa di sebut satu persatu mendapat julukan hokade ketika zaman setelah Romusa Jepang atau orang sini menyebut Nippon ..
Tahun 1945 deklarasi kemerdekaan Bung karno sampai tahun 61 ada yang nama nya Zaman GOROMOLAN ,GEROMOLAN apa yaa ???
narasumber mengatakan Zaman Geromolan adalah zaman paceklik dimana zaman ini dikaitkan dengan invansi partai Komunis Para Hokade dan OPR di perangi jika ia masuk gerombolan aman jika tidak,maka langsung di gorok hidup2 ,,pernyataan ini di dapat dari Nenek Isah istri Hokade inen sutisna (86 th), bapak didi mengatakan ia merupakan salah satu yang selamat dari insiden itu dengan yang lainya dimana GEROMBOLAN yang berjumlah ribuan menyerbu setiap kampung dan membakarnya makanan dan harta benda di ambil dan rumah di bakar ,para Hokade dan OPR menjadi buruan utama ,,
Menariknya zaman Geromolan itu mereka menggunakan senjata yang canggih di zaman nya ada Deredet atau Brent buatan Rusia ada Senjata Mortal atau sekelas AK45 sekarang ,, Bahkan Senjata ledak besar jarak jauh,,Narasumber mengatakan Seorang ibu ibu sedang menyusui di dekat Lapangan Cikandang (sekarang) di tembak dari arah Werkip ( setelah saya perkirakan hitungan nya sekitar 1000 sampai 1500 meter senjata ini bisa menghancurkan kepala si ibu itu ...Innalillah saya perkirakan senjata ini semacam RPG kalau sekarang , ,,,Ternyata Gerombolan ini punya ,,dari mana yaa ungkap saya ,,, Para Sesepuh yang masih ada tidak tahu dari mana ,,,
Alm.Hokade Inen Sutisna yang paling banyak mengalami pembakaran yakni 16 kali pembakaran Rumah bahkan Rumah besar milik Direktur perkebunan yakni PAREKSO yang kini di abadikan dengan nama salah satu tempat di antara kampung cikandang dan Renteng dahulu menjadi camp pengungsian Rakyat dari berbagai tempat sampai di bakar para gerombolan dan hangus ...
Hal itu terjadi sampai tahun 61 , sampai akhirnya para HOKADE ,OPR mendapat bantuan dari Brawijaya yang kala itu sedang pengamanan di irian serta 301,303 ssm,dan pasukan rakyat lainya membuat Pagar Betis dan menumpahkan Gerombolan ,,,Yeeee akhirnya berhasil ....
Usut punya usut dalam pengamatan dari beberapa narsumber Gerombolan ini pas saya kaitkan dengan PKI karena menurut keterangan dari kekalahAn itu katanya mereka membalas dengan insiden lubang buaya wah wah menarik juga yaaa ,,,
Apalagi cerita selanjutnya tentang uang di zaman dulu lho nanti yaaa

Beasiwa BAZMA 2016






QURANI  kontribusi yang akan saya berikan bagi Indonesia
QURANI (Quantum Responses Agronomics And Network) Merupakan salah satu rancangan strategi pengembangan sumber daya di tingkat desa yang dikembang melalui kerjasama Desa dan penyuluhan bidang pertanian serta Masyrakat,pengembangan sistem ini dilakukan percobaan di Desa Cikandang dengan Taman Tekhonologi Pertanian Kab.Garut, rancangan strategi ini adalah menggabungkan elemen  potensi sumber daya yang ada di Desa dan potensi Investasi yang ada di luar serta pemanfaatn basic data bagi masyarakat dana aparetur desa. Sebagai informasi anggaran dana Desa diberikan pemerintah berdasarkan Tipologi desa sesuai dengan UU desa No.6 Tahun 2014 sementara pos-pos pengalokasianya diserahkan pada hasil permusyawarahan Badan Permusyawaratan Desa(BPD) Sementara tujuan dari sistem ini adalah Swasembada yang berbasis dari desa dimana langkah awal dari pengembangan sistem ini adalah literasi badan Usaha Milik Desa dengan masyarakat,sebagai Informasi di indonesia memiliki lebih dari 60 juta Desa atau nama lain yang berbenteuk desa sedangkan BMT,KOPERASI SYARIAH atau koperasi yang berbasis dari pemerintah desa belum secara signifikan setiap desa memilikinya. Di desa saya saja Desa Cikandang memilki pertumbuhan Ekonomi diatas Desa Tertinggal dan meimiliki jumlah rasio Kurang dari 0.35 untuk kesenjangan dimana data BPS tahun 2014 dan 2015 merilis Rasio Kesenjangan desa dan kota secara total ada pada 0.41 maka desa saya termasuk kategori desa Berkembang menuju Maju namun secara Infrastruktur pengembangan jangka panjang belum menyentuh pada Intrument untuk Develovment Goods dan ini menjadi pekerjaan Rumah bagi para generasi selanjutnya dan bisa jadi ini merupakan cerminan bagi Desa lainya, dalam sistem Quantum saya mencoba mengembangkan penelitian tentang potensi dan pengembangkan desa kami dan didapati Desa Cikandang merupakan Favorit untuk tempat berlangsungnya penelitian dari mahasiswa luar negeri dengan terbukti 3 kali dalam setahun melakukan Kunjungan dari Negara yang berbeda seperti Tahun Ini saja dari Korea,Belanda dan Jepang.
IMG-20160812-WA0002.jpgKarena Fokus mayoritas desa cikandang yang sebagai salah satu sample dalam penelitian ini pada pengembangan pertanian, maka kami kembangkan dalam bidang pertanian seperti salah satu komoditas unggulan ditempat kami yakni sayuran yang di klaim dari data pasar menghasilkan pertukaran lebih dari 500 juta dalam sehari merupakan salah satu potensi pengembangan untuk menciptakan lapanngan pekerjaan apabila dilakukan pengolahan. Salah satu yang sedang di kembangkan adalah produk olahan kentang yang kami beri nama ‘’Citang’’  telah memberikan efek positif dengan menciptakan sumber pendapatan bagi KWT dan Produk permen Susu yang memberikan sumber pendapatan tambahan bagi para ibu peternak sapi, dalam konsepini kami mengembangkan dua sistem yakni dengan Online dan Offline seperti pada gambar berikut :
IMG-20160812-WA0000(1).jpgIMG-20160812-WA0001.jpgIMG-20160812-WA0000.jpg
Potensi lahan untuk menambah ketahanan Pangan tentu sangat di perlukan bagi negara Indonesia terkhusus di daerah-daerah yang memang menjadi kekuatan ketahanan pangan,Selain sebagai salah satu bentuk pemberdayaan pada masyarakat yang berprofesi petani dapat menambah ketahanan pangan secara nasional apabila di mulai dari desa . sebagaimana yang kita ketahui Tata kelola  pangan yang buruk salah satunya membuat Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menurun dari posisi 72 di 2014 menjadi 74 di 2015 dari 109 negara. Hal tersebut berdasarkan Global Food Security Index (GFSI) yang dikembangkan oleh Economist Intelligence Unit (EIU) dan DuPont.(Data GFSI) Permasalahan yang dihadapi para petani di lingkungan desa  adalah   kurangnya permodalan,tingkat pengembangan Agrokompleks,strukturisasi kelembagaan yang masih kurang baik dalam gapoktan atau pengembangan pertanian tingkat desa lainya yang berujung pada kurangnya koordinasi serta pemanfaatan anggaran pemerintah bagi pemberdayaan petani sangat meprihatinkan.sebagai salah satu contoh di 3 Desa yang kami kunjungi setidaknya ada 25 Gapoktan Di desa Cikandang, 4 Gapoktan do Desa Cibodas serta 13 Gapoktan di desa Sukaraja tidak satupun memiliki draft kerjasama pertanian,padahal dari pihak Desa dan Kementrian Pertanian memberikan bantuan yang berpola kerjasama, selain itu  masih terdapat banyak praktek yang tidak sesuai dengan syariah seperti muzabanah,mulabazoh,ijon dan muhaqolah yang secara makro memberikan efek negatif pada pengembangan pertanian itulah sebabnya dalam hal ini kami mengembangkan sesuai prinsip syariah dalam pertanian yang kami namakan sebgai syariah agricultural System .
I Maka dengan ini kami membuatkesimpulan bahwa perbaikan sistem dalam pemberdayaan di tingkat desa perlu di tingkatkan dan salah satunya sistem Quantum bisa menjadi opsi bagi pengembangan dan pemberdayaan di tingkat desa. Begitulah apa yang akan saya kontribusikan bagi negeri ini yang di mulai dari Masyarakat dan Desa.







Mahabbah

 Cinta itu  laksana sebuah perang,  amat mudah mengobarkannya,  namun amat sulit untuk memadamkannya   Ketika kita mencintai,  perasaan kita...