Pendapatan
Negara Menurut Islam dan Tinjauan Tax Amnesty dalam pandangan Islam
Oleh : Tri Aji Pamungkas Al-Azhary
Pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada
zaman pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin
(632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: [1] Ghanimah, [2]
Fay’i, dan [3] Shadaqah atau Zakat
(lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa).
Fay’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu [1] Kharaj; [2] ‘Usyr dan; [3]
Jizyah. Berikut uraian tentang berbagai jenis pendapatan tersebut. Ghanimah,
adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir, melalui
peperangan. Inilah sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Ghanimah
dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. [8]:41, yang turun saat usai perang
Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, yaitu 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5
dibagi untuk Allah SWT, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan Ibnu Sabil.
Dari Ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan
keluarga beliau, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. Ghanimah
merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain. Fay’i adalah harta
rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran,
oleh karenanya, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fay’i
pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar
Perjanjian Madinah. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim
ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Pada awalnya seluruh tanah taklukan
pemerintah Islam, dirampas dan dijadikan milik negara. Namun kemudian, khalifah
Umar bin Khattab berijtihad, tidak lagi merampasnya jadi milik kaum Muslim,
tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka
membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut. ‘Ushr adalah bea impor
(bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan
negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi
barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada
non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum
Muslim tetap tergolong sebagai Zakat. Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala adalah
Pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan
perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib
militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah
juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah
SWT dalam QS.[9]:29. Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta
tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu.
Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif
pelaksanaan Zakat Mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Demikianlah
sumber-sumber pendapatan negara yang utama dalam Sistem ekonomi Islam.
Disamping pendapatan utama (primer) ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh
tidak tetap, yaitu: ghulul, kaffarat, luqathah, waqaf, uang tebusan,
khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain. Dengan
Sistem Ekonomi Islam seperti demikian, negara mengalami surplus dan kejayaan,
antara lain dizaman Khalifah Umar bin Khattab
(634-644 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan sebagai puncak keemasan
dinasti Abbasiyah adalah tatkala dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803 M).
Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam, Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan
negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Mengapa Pajak (Dharibah) ini muncul? Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan munculnya Pajak, yaitu:
Pertama,
Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa pemerintahan
Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan
Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum
negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i
juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi,
padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara,
seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan
raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan
gedung sekolah).
Kedua,Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya
jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara,
membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada
QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi,
mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid
Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum
(nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo.
Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan
oleh RasulNya Muhammad SAW. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat
tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa,
Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah
tertutup.
Ketiga, Jalan
pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan
sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan
lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal
kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka
negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para
ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk
membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut
dengan Pajak.
Keempat,Imam
(Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas
negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i
atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan
pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat
itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang
lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak
(Dharibah). Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan, yaitu Utang atau Pajak. Utang
mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi yang akan datang. Oleh sebab
itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak menimbulkan beban bagi
generasi yang akan datang. Inilah
alasan-alasan yang memunculkan ijtihad baru dikalangan fuqaha, berupa Pajak
(Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits
Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di
samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27,
hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789).
Sungguhpun Pajak (Dharibah) diperbolehkan oleh ulama, namun ia harus tetap
dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam. Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan
Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka
Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi artinya,”Laa yadkhulul jannah
shahibul maks”, yang artinya Tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim), (HR.
Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no.
1668). Petugas pajak yang dzalim adalah yang memungut pajak di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang
tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Layaknya seperti preman
yang meminta uang palak kepada pedagang-pedagang pasar. Petugas pajak yang yang memungut uang
tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul
maks” atau petugas pajak yang dzalim. Sedangkan Pajak (Dharibah) yang dibuat
oleh pemerintah (Ulil amri) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil
halli wal aqdi) dengan berpedoman kepada Syari’at Islam dibolehkan dengan dasar
ijtihad.
Dalam Konteks kekinian seperti di Indonesia
pajak merupakan Iuran wajib yang diberlakukan negara kepada rakyatnya dengan
berbagai prosedur dan persyaratan yang telah di tetapkan dalam
Undang-Undang,disamping itu Pajak merupakan pendapatan negara terbesar dan
peyumbang anggaran APBN terbesar dari tahun ke tahun di banding dengan yang
lainya,Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu
pendapatan negara berdasarkan ijtihad
Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi)
dan persetujuan ulama. Pajak
(Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat
atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia
adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang
harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan
kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar.
Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan
atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain
atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di
Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah,
Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak
(Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok,
seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam
penghitungannya, Zakat yang telah
dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang
tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau
PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Lalu bagaimana Dengan Tax Amnesty Yaa ?????
Tax Amnesty Adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Berlaku
Global - Tax amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of
taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax liability
(including interest and penalties) relating to a previous tax period or periods
and without fear of criminal prosecution. Menurut
"PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak
yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan
sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar
Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Latar belakang Tax Amnesty atau
mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada para pembayar pajak
(wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :
- Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
- Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
- Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax
amnesty tersebut maka presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016
mengesahkan Undang Undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan
Pajak.
Wah-wah lumayan
Rumit juga ya Tax Amnesty ini karena disamping pemerintah terkesan mengejar
setoran serta mengamankan roda perekonomian negara dengan mengajak kembali para
pemilik uang untuk kembali ke Indonesia .
Pandangan
secara Fiqih Kontemporer sebagaimana penjelasan diatas terkait asal mula adanya
pajak dan penggunaanya serta sfesifikasinya maka hukum memebayar pajak bisa
menjadi Wajib,Sunnah Muakadah bahkan Sunnah serta haram tergantung dari posisi
subjek pajak nya dan kategori objek pajak harus yang di luar dengan Harta yang
di zakati atau telah selesainya dalam pembayaran zakat, usut punya usut yang di
utamakan adalah zakat dulu untuk menambah devisa baitul maal. Tapi kalau sudah
banyak kurang maka kebijakan Kharaj atau Dharibah bisa di lakukan. Lalu bagaimana
dengan negara yang telah gunakan pajak sebagai iuran dan pendapatan utama
negara seperti di Indonesia Ini ???
Maka jawabanya
Bisa Wajib dan Bisa hanya sekedar Sunnah, tinjauan prespektif agama dalam hal
Ini Islam sebagai mana keterangan diatas pajak akan menjadi wajib apabila
baitul mal kosong dan dibebankan kepada masyarakat melalui persyaratan dan
kriterianya jika demikian,maka Kebijakan Tax Amnesty bertentangan prinsip
awalnya, berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li
a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka
memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas
li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka
menolak kerugian yang lebih besar). Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid
al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika
mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan
bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya.
Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan
merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah
ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar [Al
Hujuraat: 15]
dan
firman-Nya,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)
Berangkatlah
kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)
Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
[Al Baqarah: 195].
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (١١)
(yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].
Dengan
demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa
besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga
pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan
pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum
muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk
dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang
bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat
kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer)
dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya
sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah
dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat
diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut
merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak
dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa
terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu,
kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa
wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya,
maka sesuatu itu bersifat wajib.
Kemudian,
setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh
pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka
sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi
dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan
kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat
dengan sejumlah syarat, yaitu :
- Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
- Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
- Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at
Dengan Demikian secara pandangan agama
dengan kondisi yang ada saat ini maka tidak tepat menerapkan Tax Amnesty
melainkan harusnya sesuai dengan kaidah,,,
Loh loh gitu yaa
Tapi jangan lupa sob pandangan
strategis nya, Menurut pandangan ini diperbolehkan untuk mengambil syiasat
asalkan tujuan utama adalah untuk masyarakat dan kemakmuran negara,kami
harapkan kebijakan ini dapat di sukseskan sebagai mestinya (TAP_IsEF_FJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar