Senin, 30 Oktober 2017

Paradoks Ekonomi Syariah di Indonesia
 Oleh: Tri Aji Pamungkas


Ekonomi Syariah sangat di identikan dengan industri keuangan syariah, yang meliputi industri yang termasuk dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank. Padahal, ekonomi islam bukan hanya termasuk bank melainkan masuk kepada elemen terkecil dalam kegiatan ekonomi termasuk dalam ekonomi Syariah.
Mari kita belajar dari Industri Keuangan Bank yang sedang di idolakan para pelaku bisnis, ekonomi islam menjadi salah satu alternatif dalam upaya penyembuhan dan keaadan ekonomi dunia saat ini. Ekonomi islam dianggap sebagai salah satu system yang moderat dan dapat menguntungkan semua pihak tanpa ada aspek aspek yang didzalimi apabila dialkasanakan sesuai dengan kajian teoritis Alquran dan Sunnah. Di Indonesia sendiri dengan adanya undang-undang No.21 tahun 2008 sebagai legalitas adanya perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang perbankan syariah memiliki ciri khas tersendiri dimana memberikan penjelasan bahwa bagi setiap Bank Perkreditan Daerah (BPD) yang memiliki unit usaha syariah wajib bertranformasi menjadi syariah di tahun 2022.
Berbicara terkait dengan Bank syariah di Indonesia memiliki beberapa hal yang tidak sesuai dengan filosofi ekonomi syariah sebenarnya. Selayaknya, ekonomi islam yang diimpikan adalah mencakup keumatan, memberikan efek positif pada msayrakat secara komprehensif dan tidak menimbulkan adanya kesenjangan lebih antara orang kaya dan orang miskin. Perjalanan 25 tahun ekonomi islam dengan adanya Bank Muamalat sebagai  inisiator bank syariah di Indonesia sejauh ini apabila kita melihat dari data kepemilikan asset atau Dana pihak ketiga di Bank syariah sangat memperihatinkan, menurut data LPS 2017 0,04% dari total jumlah rekening menguasai 45,48% dana berputar di perbankan, sedangkan 97,89% dari total rekening hanya bisa menguasai asset dari perputaran uang sebesar 14,74%. Penyebab ketimpangan sektoral ini di sebabkan karena dua hal dalam teori ekonomi islam dan ekonomi modern saat ini yakni Inquality Asset dan Inquality Opportunity (M.Fadhil Hasan dalam diskusi Darurat Ketimpangan Ekonomi di Komisi XI DPR RI salah satu Fraksi).

Dari data diatas sederhana saya ungkapkan bahwa ketimpangan terjadi bukan karena dua hal sebagaimana disebutkan melainkan karena adanya system kapitalisme yang masuk di dunia perbankan syariah itu sendiri sehingga menimbulkan efek yang dominan kedalam ketidakbergerakan sumbangan positif bank syariah yang dianggap sebagai icon ekonomi syariah terhadap perbaikan ekonomi umat, pendapat ini diperjelas dengan adanya statistic perbankan syariah di ojk per 2016 dengan indicator porsi kredit pertanian yang masih minim yakni hanya diangka 6-7%. Sedangkan mayoritas menengah kebawah di Indonesia adalah dari segmentasi usaha pertanian. Dalih permasalahan dalam hal ini adalah masih minimnya skematik di perbankan syariah untuk mitigasi resiko dalam melakukan pembiayaan pertanian, berbeda dengan pembiayaan perumahan yang sering mendapat perlakuan lebih krena nilai profit yang menjanjikan.solusi utama dalam hal ini adalah dengan adanya system penjaminan atau kafalah bagi nasabah petani oleh pihak terkait dalam hal ini pemerintah serta memberikan upgrading lebih kepada para petani melalui lembaga-lembaga atau aktivis yang bergerak di bidang pertanian untuk melakukan sosialisai terkait dengan keuangan syariah.sebagaimana contoh sosialisasi yang dilakukan Swadaya Petani Indonesia tentang keuangan akan menumbuhkan literasi keuangan apalagi dengan keuangan syariah. Hal seperti ini patut ditiru dan dijadikan sebagai penyemangan untuk ekonomi islam di Indonesia yang sebenarnya. 

Minggu, 29 Oktober 2017

Dunia Zakat dan tantangan di Era Reformasi transparansi Informasi



Dunia Zakat dan tantangan di Era Reformasi transparansi Informasi
Oleh: Tri Aji Pamungkas
            Perkembangan kesadaran masyarakat untuk berbagi dan memberikan sebagian apa yang dimilki kepada lembaga terkait semakin tinggi di indonesia, semangat ini merupakan semakin yang khas dimilki warga indonesia terlebih lagi memiliki tingkat kdekatan pada religius yang lebih dibanding negara lain. Salah satu yang paling dominan tentang dogma dan anjuran berbagi yang tercantum dalam ajaran islam menjadikan masyarakat semakin memilki potensi yang sangat besar dari segi social fund. Di indonesia sendiri potensi pengembangan dan pemanfaatan penerimaan zakat memiliki nilai yang sangat tinggi hingga 286 triliun berdasarkan rilis Baznas tahun terkini.
            Semakin tinggi nya potensi dan awarnes masyarakat maka berbalik dengan semakin tinggi tuntutan masyarakat terhadap apa yang dipercayainya. Pengembangan Social Fund Engenering khususnya dalam dunia zakat meiliki ptensi yang sangat besar di indonesia dan meiliki karakteristik yang pas dengan suasana negara yang mayoritas moeslim dan tingkat kepercayaan religiusnya lebih tinggi dibanding negara lain.hal ini sangat perlu sekali di dorong untuk menjadikan dunia zakat semakin baik dan semakin maju kebermanfaatanya.
            Adanya era tranformasi informasi dari dunia digital non integrated menjadi terintegrasi dengan banyak kemudahan seharusnya sudah menjadi kewajiban untuk melakukan tranfaransi di dunia zakat. Adanya informasi tentang management zakat,program zakat,tranfaransi laporan keuangan lembaga zakat dan lainya sangat di wajibkan di era sekarang. Menurut Ram Al Jafrii Saad dkk dalam jurnal Islamic accountability Framework in the zakat funds management mengatakan bahwa dalam praktiknya akuntabilitas lembaga zakat harus di pertanggungjawabkan bukan saja dengan manusia melinkan memilki tanggung jawab penuh kepada Allah. Selain kepada dua hal tadi akuntabilitas zakat memiliki tanggung jawab lebih terhadap fatwa dan peraturan positif lainya serta memberikan hak informasi dan tranfaransi kepada muzaki.
            Pentingnya tranparansi dan akuntabilitas intitusi zakat membuktikan bahwa lembaga zakat bukan lagi entitas yang hanya mengambil penerimaan dana umat melainkan entitas yyang berkewajiban dan bertugas untuk memberikan manfaat kepada umat lainya. Maka bergainer terkait dengan peningkatan poisisi lembaga zakat itu sendiri sebagai social intermediate sangat diperlukan untuk meningkatkan loyalitas para amil dan menumbuhkan profesional para amil sekaligus menambah kepercayaan para muzaki.
            Di dalam dunia akuntansi sendiri sangat berkaitan erat dengan peran pentingnya sebagai sarana aktualisasi untuk melakukan tranparansi yang lebih baik. Dengan hadirnya pernyataan standart akuntansi 109 yang secara khusus mengatur zakat infaq dan sedekah membuktikan bahwa sudah saat nya dunia zakat melakukan era reformasi transfaransi dari hanyaberbasi pengumuman seperti yang dilakukan di masjid sebelumnya yang bisa dimasukan kedalam sarana media yang dimiliki entah koran, artikel buletin , dan sarana lainya.
            Ruang lingkup ini perlu dibangun dan dimaksimalkan agar management zakat merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab moril kepada umat tentang tanggung jawab posisi nya sebagai muzaki.selain dari itu ruang lingkup tranparansi dan akuntabilitas publik terkait dana zakat dan dana dengan basis social lainya menjadi bencmark bagi pengembangan tranfaransi informasi untuk entitas lainya baik lembaga pemerintah atau lainya.
             Dalam perkembanganya tranparansi dan akuntabilitas di era sekarang sangat dituntut oleh masyarakat karena berkaitan langsung dengan awarnes dan trust masyarakat itu sendiri. Karena zakat dan social fund Enggenering lainya merupakan entitas yang tidak akan terlepas dari kepercayaan maka tuntutan akuntabilitas dan tranparansi dudah syarat akan kewajiban.
`           Diferensiasi lembaga atau institusi berbasis islam seperti lembaga zakat selain dari adanya pemanfaatan dan konsep falah oriented yang membedakan dalam praktik nya lembaga ini wajib memiliki dewan pertimbangan atas operasionalisasi yang sesuai dengan syariah islam dan regulasi terkait, hal ini pula yang membedakan akuntabilitas keuangan atau lapiran keuangan dan management intitusi zakat denga NGO lainya. Selain pemanfaatan dan penggunaan yang dapat dibedakan dalam bentuk manfaat dan khalayak yang sesuai dengan alurnya yang telah di syariatkan atau di gariskan dalam kepercayaan islam. Semangat ini pula dibangun atas dasar semangat untuk melakukan reformasi orientasi yang semula hanya keduniaan saja menjadi orientasi yang ke akhiratan pula. Hal ini yang menjadikan ciri khas tersendiridibanding dengan intitusi lainya.
            Tantangan yang setidaknya muncul dalam tranparansi dari reformasi media yang berkembang saat ini yakni dari peran dan pemanfaatan organisasu dalam memanfaatkan media sebagai dunia awarnes baru dibanding dengan secara konvensional selanjutnya bisa dilihat dari adanya generasi milineal yang memiliki tingkat kegemaran terhadap media lebih besar jika hal ini di jadikan saran aktualisasi tranparansi media saat ini maka bukan tidak mungkin generasi kedepanya menjadikan generasi yang awarnes terhadap dunia zakat.

Senin, 09 Oktober 2017

PAJAK 1% UNTUK UMKM: HADIAH ATAU HUKUMAN ?

PAJAK 1% UNTUK UMKM: HADIAH ATAU HUKUMAN ?
Oleh: Roy Martfianto, Widyaiswara BDK Jogjakarta
Baru saja Direktorat Jenderal Pajak merilis aturan baru yang diperkirakan akan mempunyai dampak luar biasa bagi penerimaan pajak. Aturan tersebut adalah beleid tentang pengenaan pajak 1% bagi UMKM yang dirilis dalam PP No. 46 Tahun 2013. Meskipun belum keluar petunjuk teknisnya, namun munculnya PP tersebut telah mengundang pro dan kontra. Hal yang wajar mengingat setiap kebijakan dalam pemajakan pada dasarnya tidak akan pernah diterima dengan ikhlas oleh masyarakat, apalagi bagi para Wajib Pajak ataupun calon Wajib Pajak yang akan terkena dampaknya. Tulisan ini akan mencoba memotret dampak keluarnya PP tersebut dalam perspektif perundangan.
Ada 2 jenis hukum yang dipakai sebagai dasar untuk melakukan seluruh aktvitas dalam dunia pajak yaitu hukum formil dan hukum materiil. Hukum formil diterbitkan untuk menjamin mekanisme dan prosedur yang berlaku di dunia pajak agar hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang berinteraksi dalam dunia pajak dapat dipenuhi dengan baik. Sedangkan hukum materiil, mengatur tentang segala hal yang terkait dengan penetapan dan ketetapan pajak yang menjadi beban yang harus dipikul oleh Wajib Pajak. Maka ketika DJP mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi perhitungan besarnya pajak terutang, pembicaraan akan berada di dalam wilayah hukum materiil.
PP No. 46 Tahun 2013 mengatur tentang pengenaan pajak bagi sektor UMKM. Beberapa pengaturan dalam PP ini bisa membuat para pelaku UMKM menjadi panas dingin. Bagaimana tidak, sejak tanggal 1 Juli 2013 sektor UMKM akan dikenakan pajak sebesar 1% dari omzet. Selain itu, mereka menjadi wajib ber-NPWP. Dengan begitu, seluruh aktivitas ekonomi UMKM bakal terpantau oleh DJP dan sejak 1 Juli 2013 tersebut setiap UMKM akan menyetor 1% ke kas Negara dari omzetnya tidak peduli untung atau rugi. Boleh jadi, saat-saat ini, seluruh UMKM di Indonesia sedang dag dig dug ser menanti datangnya hari untuk berjumpa dengan para petugas di DJP untuk menunaikan kewajiban yang tertera dalam PP N0. 46 tahun 2013 tersebut.
PP 46 Tahun 2013 mengatur tentang pemajakan bagi UMKM dengan garis besar pengaturan sebagai berikut:
1. Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima adalah bersifat final.
2. Dikenakan terhadap Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3. Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
4. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan
5. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak dikenai pajak 1% adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
6. Wajib Pajak badan yang tidak dikenai pajak 1% adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Dari sudut pandang hukum materiil, kebijakan pengenaan penghasilan 1% tersebut seharusnya diterima dengan rasa senang oleh UMKM. Mari kita lihat perhitungan sederhana di bawah ini:
1. Wajib pajak A (Orang Pribadi) memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2013 sejumlah Rp. 100 jt. Maka, jika A menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tertinggi sebesar 40% maka Penghasilan Kena Pajaknya adalah Rp. 40 jt, sehingga PPh yang terutang akhir tahun sebesar 5% x 40.000.000 = 2 juta
2. Wajib Pajak B (Orang Pribadi) memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2013 sejumlah 100 jt. Maka, jika B menggunakan perhitungan berdasar PP No. 46 Tahun 2013 maka besarnya PPh yang terutang akhir tahun sebesar 1% x 100.000.000 = 1 juta.
Dari contoh diatas, jelas terlihat bahwa penggunaan tarif 1 % akan menguntungkan bagi Wajib Pajak UMKM. Seperti Penulis nyatakan sebelumnya bahwa seharusnya UMKM senang akan terbitnya PP No. 46 tahun 2013 tersebut. Lantas mengapa mereka merasa keberatan dengan model pengenaan pajak tersebut ?
Pemajakan tidak akan pernah menyenangkan bagi setiap Wajib Pajak/calon Wajib Pajak. Bahkan kalaupun tarif 0,1% dirilis, tidak akan ada yang secara sukarela berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP dan kemudian pada akhir tahun memenuhi kewajibannya untuk menyetor pajak. Faktanya, selama ini usaha yang mereka jalankan tidak pernah tersentuh oleh DJP dan bahkan DJP tidak punya kemampuan untuk menjangkaunya. Namun, ibarat peperangan, keluarnya PP tersebut membuat posisi tawar DJP menjadi semakin kuat untuk ‘mengobrak-abrik’ kenyamanan UMKM. Secara psikologis, DJP hendak mengirim pesan bahwa tidak ada alasan untuk tidak membayar pajak sebab tarif pajak sudah diturunkan jauh dari tarif normal di dalam UU PPh. Inilah sebenarnya yang dikhawatirkan oleh para UMKM bahwa DJP akan semakin aktif menebar jalanya untuk menjaring UMKM tanpa menunggu filosofi self assessment yang dianut Undang-Undang. Di sisi lain, Menteri Keuangan menyatakan bahwa kesediaan UMKM untuk membayar pajak 1% ini akan membawa UMKM ke level yang lebih tinggi dalam hal kemampuan untuk memperoleh akses ke perbankan. Pernyataan normatif ini tentu tidak seketika membuat ketakutan psikologis UMKM menurun sebab faktanya selama ini faktor yang menyebabkan UMKM kesulitan dalam mengakses pembiayaan perbankan bukan semata karena faktor NPWP dan penyetoran pajak. Jadi, pada kondisi ini UMKM akan merasa mendapat hukuman ketimbang hadiah lebih karena ketakutan psikologis bukan karena dampak hukum materiilnya.
Sekarang, mari kita contohkan perhitungan sederhana berikut ini:
1. Wajib Pajak A (Badan) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000 sehingga penghasilan kena pajak adalah Rp. 2.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun berdasar tarif pasal 17 adalah 25% x 2.000.000.000 = 500.000.000 atau jika menggunakan tarif Pasal 31E maka PPh terutang akhir tahun diestimasikan sebesar 12,5% x 2.000.000.000 = 250.000.000
2. Wajib Pajak B (Orang Pribadi) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000 sehingga penghasilan kena pajak adalah Rp. 2.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun berdasar tarif pasal 17 adalah 5% x 2.000.000.000 = 100.000.000
3. Wajib Pajak C (Badan/Orang Pribadi) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000. Menurut PP No. 46 tahun 2013 penghasilan kena pajak adalah 1% x Rp. 4.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun adalah Rp. 40.000.000.
Perhitungan di atas melengkapi contoh sebelumnya di atas memperlihatkan bahwa penerapan tarif 1% memberi dampak yang sangat menguntungkan bagi Wajib Pajak dibanding penerapan tarif umum PPh . Namun, sekali lagi, benefit ekonomi ini tetap tidak akan membuat kalangan UMKM merasa bahwa mereka telah ‘diuntungkan’ oleh pengenaan tarif yang rendah tersebut.
Pada dasarnya, DJP memang berkepentingan untuk menaikkan penerimaan pajak dari sektor UMKM yang disinyalir berjumlah 55,2 juta UMKM per Juni 2013 (data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah). Jelas ini angka kumulatif yang tidak kecil, mengingat sampai saat ini jumlah NPWP yang terdaftar baru sekitar 13-16 juta NPWP, itupun hanya 10-20% yang efektif dalam hal pembayaran pajaknya. Jika saja setiap UMKM rata-rata punya omzet harian Rp. 200.000,- atau Rp. 5.000.000/bulan, maka potensi pajak yang dapat dikumpulkan adalah 1% x 55.000.000 x 5.000.000 = Rp. 2,75 T per bulan atau Rp. 33 T/tahun. Bukan jumlah yang kecil ketika dibandingkan dengan proyeksi penerimaan pajak yang berkisar di angka Rp. 1.000 T/tahun. Jadi bagaimanapun pemerintah—dalam hal ini DJP—memang berkepentingan untuk melakukan pemajakan terhadap pelaku usaha di kelas UMKM ini.
Perasaan atau persepsi bahwa pemajakan 1 % ini adalah sesuatu yang memberatkan memang harus dihadapi dengan peka oleh DJP melalui serangkaian kebijakan dan strategi yang mampu menimbulkan efek psikologis kompensatif yang diharap mampu mereduksi kegalauan UMKM. Paling tidak UMKM tidak sepenuhnya merasa mendapat ‘hukuman’ tapi juga secara proporsional diberikan candy-nya. Hal ini sudah seharusnya dilakukan karena dari sisi makro UMKM ternyata menyumbang 57,12% dari PDB Indonesia dan memberi sumbangsih penyerapan tenaga kerja hingga 97,3% dari total tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 104,54 juta (data diolah dari berbagai sumber) Jasa UMKM terhadap bangsa ini harus diapresiasi sehingga DJP jangan hanya terkesan mau ambil untung dari kondisi masifnya UMKM.
Ruang untuk memberikan candy kepada UMKM dapat dilakukan oleh DJP dengan cara yang dimungkinkan oleh hukum formil atau hukum materiil. DJP dapat memberikan berbagai fasilitas dan pengaturan khusus yang diperuntukkan oleh UMKM dalam konteks pemajakan ini. Dalam pandangan Penulis ada beberapa ide yang bisa dimunculkan agar efek psikologis kompensatif ini muncul dan sedikit menyamankan para pelaku UMKM. Pertama, DJP dapat memberikan pengaturan bahwa bagi UMKM yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan pajak terhutangnya sejak 1 Juli 2013 tidak akan dilakukan pemeriksaan atau verifikasi untuk tahun-tahun sebelumnya dengan persyaratan menghitung sendiri pajak yang terutang sejak 5 tahun sebelum 1 Juli 2013. Kedua, bagi UMKM yang sudah memperoleh NPWP sebelum 1 Juli 2013, atas pajak yang sudah dibayar menjadi pasti besarnya dengan cara dikeluarkan ketetapan SKPN. Ketiga, penggunaan formulir pelaporan dan perhitungan pajak yang lebih sederhana dan ringkas. Keempat, terhitung sejak 1 Juli 2013 hingga batas waktu yang ditetapkan DJP, DJP tidak akan melakukan pemeriksaan terhadap UMKM dengan syarat formil yang ditetapkan misal: menjadi WP Patuh dengan jangka waktu tertentu. Kelima, membuka layanan khusus semisal KPP Khusus UMKM di setiap Kanwil agar lebih mampu mengetahui karakteristik UMKM dan lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih bernuansa UMKM, contohlah strategi BRI dalam melayani nasabah mikro di tingkat pedesaan.
Kalau DJP bisa melakukan seperti diatas, Penulis yakin UMKM akan lebih merasa ‘dimanusiakan’ sehingga harapannya dampak positif secara nasional akan terasa. Meskipun tentu saja tidak bisa sekali jadi dalam rentang waktu yang pendek.
Bagaimana menurut anda ??

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar
Tri Aji Pamungkas Alazhary
Tulis komentar...

Studi: Tindakan Sarbanes-Oxley Berfungsi sebagai Sistem Peringatan Dini untuk Penipuan pertukaran uang tunai

Studi: Tindakan Sarbanes-Oxley Berfungsi sebagai Sistem Peringatan Dini untuk Penipuan pertukaran uang tunai
Oleh Tri Aji Pamungkas 
Mahasiswa Sebi University College Of Islamic Economic dan University Student Scheme (USS) IAI – ICAEW
 

Dalam 15 tahun sejak Undang-Undang Sarbanes-Oxley disahkan untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh Enron dan perusahaan lainnya, Bagian 404 (b) terus mengumpulkan kritik atas persyaratannya bahwa auditor eksternal menilai pengendalian internal perusahaan atas pelaporan keuangan.IklanSebuah studi baru yang diterbitkan di American Accounting Association "Auditing: A Journal of Practice & Theory" kemungkinan akan memicu lebih banyak perdebatan mengenai manfaat Bagian 404 (b).Laporan 26 halaman, Kelemahan Pengendalian Internal dan Penipuan Pelaporan Keuangan, membuat kasus bahwa Bagian 404 (b) berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk penipuan perusahaan. Studi ini menemukan bahwa "hubungan yang signifikan secara statistik dan ekonomi antara kelemahan material [dalam pengendalian internal] dan penyingkapan masa depan penipuan ... didorong sepenuhnya oleh contoh di mana masalah pengendalian internal mencerminkan kesempatan umum untuk melakukan kecurangan."Memang, kejadian pengungkapan kecurangan pada perusahaan yang sebelumnya ditemukan memiliki kelemahan material adalah 80 persen sampai 90 persen lebih banyak daripada di perusahaan lain. Dari 127 kasus kecurangan yang diidentifikasi oleh studi ini, kelemahan material dalam pengendalian internal dikutip di hampir 30 persen di antaranya.Menjadi Majikan Pilihan adalah Misi KritisBakat adalah sumber kehidupan perusahaan manapun. Untuk memberikan layanan konsultasi bernilai tinggi kepada klien, perusahaan harus menarik dan mempertahankan karyawan berpengalaman yang dilengkapi dengan baik untuk bekerja dengan perubahan teknologi dan analisis untuk mendapatkan keputusan yang tepat. Pelajari bagaimana perusahaan Anda bisa memenangkan perang.Chief executive officer ditunjuk dalam 111 dari 127 kasus penipuan, dan kepala keuangan di 108."Meskipun laporan kelemahan material sebagian besar mencerminkan kesalahan akuntansi dan jarangnya penyampaian penipuan hanya sedikit, fakta bahwa mereka mendahului hampir 30 persen kasus di mana kecurangan, pada kenyataannya, terungkap harus mengarahkan investor, regulator, dan legislator untuk memperhatikannya. , "kata Matthew Ege dari Texas A & M University, yang melakukan penelitian dengan Dain Donelson dan John McInnis dari University of Texas di Austin."Kami menemukan hubungan yang kuat antara kelemahan materi dan wahyu penipuan masa depan," tulis mereka dalam penelitian tersebut. "Kami berteori bahwa tautan ini dapat dikaitkan dengan kontrol yang lemah (1) memberi manajer kesempatan lebih besar untuk melakukan kecurangan, atau (2) menandakan karakteristik manajemen yang tidak menekankan kualitas pelaporan dan integritas. Kami menemukan dukungan untuk penjelasan peluang, namun tidak melalui akun spesifik yang terkait dengan pengendalian kelemahan. "Kenyataannya, orang-orang skeptis telah mengindikasikan bahwa manajer puncak bisa menggantikan kontrol internal terbaik. Beberapa orang mengatakan bahwa manajer licik menginginkan kontrol yang kuat karena akan mengurangi kemungkinan ada orang yang menemukan kecurangan tersebut, yang akan menguntungkan manajer lebih dari sekadar penipu di tempat lain di perusahaan.Itulah pendapat Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan Publik, yang percaya bahwa kontrol entitas-lebar - bukan kontrol tingkat proses - terkait dengan risiko melaporkan kecurangan yang lebih besar, negara tersebut menyatakan.Sementara para peneliti mengetahui bahwa penelitian ini tidak membahas kelengkapan Bagian 404 (b) melaporkan identifikasi perusahaan yang memiliki kontrol lemah, temuan tersebut mengindikasikan bahwa pendapat kontrol yang menyebutkan kelemahan material memberikan "sinyal yang berarti terhadap peningkatan risiko penipuan."Penulis menulis bahwa temuan mereka menunjukkan bahwa opini internal auditor yang merugikan adalah bendera merah yang menunjuk pada manajer yang melakukan kecurangan yang tidak terungkap. Selanjutnya, model prediksi kecurangan atau litigasi harus mengendalikan kelemahan pengendalian internal. Dan potensi peringatan kecurangan di Bagian 404 (b) mungkin meminta regulator dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan bagaimana memperbaiki keakuratan pengungkapan kelemahan material.Penulis mendasarkan penelitian mereka pada sekitar 14.000 opini kontrol internal auditor untuk perusahaan besar dan menengah, dan mereka menganalisis hubungan antara laporan kelemahan material dan insiden kecurangan perusahaan dalam periode tiga tahun. Penipuan diungkap dengan meninjau ulang tuntutan tindakan class action yang diselesaikan untuk pelanggaran prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tindakan penegakan federal oleh Securities and Exchange Commission atau Departemen Kehakiman.Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi apakah keahlian auditor atau karakteristik lainnya dapat mengurangi hubungan antara kelemahan material dan penemuan kecurangan di masa depan, para penulis menyimpulkan.Tag

    
Penipuan Internal mengendalikan Sarbanes-Oxley
Terry Sheridan adalah jurnalis pemenang penghargaan yang telah meliput real estat, keuangan hipotek, perawatan kesehatan, asuransi, keuangan pribadi, dan masalah perpajakan dan akuntansi untuk surat kabar, majalah.

Mahabbah

 Cinta itu  laksana sebuah perang,  amat mudah mengobarkannya,  namun amat sulit untuk memadamkannya   Ketika kita mencintai,  perasaan kita...