PAJAK 1% UNTUK UMKM: HADIAH ATAU HUKUMAN ?
Oleh: Roy Martfianto, Widyaiswara BDK Jogjakarta
Baru saja Direktorat Jenderal Pajak merilis aturan baru yang diperkirakan akan mempunyai dampak luar biasa bagi penerimaan pajak. Aturan tersebut adalah beleid tentang pengenaan pajak 1% bagi UMKM yang dirilis dalam PP No. 46 Tahun 2013. Meskipun belum keluar petunjuk teknisnya, namun munculnya PP tersebut telah mengundang pro dan kontra. Hal yang wajar mengingat setiap kebijakan dalam pemajakan pada dasarnya tidak akan pernah diterima dengan ikhlas oleh masyarakat, apalagi bagi para Wajib Pajak ataupun calon Wajib Pajak yang akan terkena dampaknya. Tulisan ini akan mencoba memotret dampak keluarnya PP tersebut dalam perspektif perundangan.
Ada 2 jenis hukum yang dipakai sebagai dasar untuk melakukan seluruh aktvitas dalam dunia pajak yaitu hukum formil dan hukum materiil. Hukum formil diterbitkan untuk menjamin mekanisme dan prosedur yang berlaku di dunia pajak agar hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang berinteraksi dalam dunia pajak dapat dipenuhi dengan baik. Sedangkan hukum materiil, mengatur tentang segala hal yang terkait dengan penetapan dan ketetapan pajak yang menjadi beban yang harus dipikul oleh Wajib Pajak. Maka ketika DJP mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi perhitungan besarnya pajak terutang, pembicaraan akan berada di dalam wilayah hukum materiil.
PP No. 46 Tahun 2013 mengatur tentang pengenaan pajak bagi sektor UMKM. Beberapa pengaturan dalam PP ini bisa membuat para pelaku UMKM menjadi panas dingin. Bagaimana tidak, sejak tanggal 1 Juli 2013 sektor UMKM akan dikenakan pajak sebesar 1% dari omzet. Selain itu, mereka menjadi wajib ber-NPWP. Dengan begitu, seluruh aktivitas ekonomi UMKM bakal terpantau oleh DJP dan sejak 1 Juli 2013 tersebut setiap UMKM akan menyetor 1% ke kas Negara dari omzetnya tidak peduli untung atau rugi. Boleh jadi, saat-saat ini, seluruh UMKM di Indonesia sedang dag dig dug ser menanti datangnya hari untuk berjumpa dengan para petugas di DJP untuk menunaikan kewajiban yang tertera dalam PP N0. 46 tahun 2013 tersebut.
PP 46 Tahun 2013 mengatur tentang pemajakan bagi UMKM dengan garis besar pengaturan sebagai berikut:
1. Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima adalah bersifat final.
2. Dikenakan terhadap Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3. Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
4. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan
5. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak dikenai pajak 1% adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
6. Wajib Pajak badan yang tidak dikenai pajak 1% adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Dari sudut pandang hukum materiil, kebijakan pengenaan penghasilan 1% tersebut seharusnya diterima dengan rasa senang oleh UMKM. Mari kita lihat perhitungan sederhana di bawah ini:
1. Wajib pajak A (Orang Pribadi) memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2013 sejumlah Rp. 100 jt. Maka, jika A menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tertinggi sebesar 40% maka Penghasilan Kena Pajaknya adalah Rp. 40 jt, sehingga PPh yang terutang akhir tahun sebesar 5% x 40.000.000 = 2 juta
2. Wajib Pajak B (Orang Pribadi) memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2013 sejumlah 100 jt. Maka, jika B menggunakan perhitungan berdasar PP No. 46 Tahun 2013 maka besarnya PPh yang terutang akhir tahun sebesar 1% x 100.000.000 = 1 juta.
Dari contoh diatas, jelas terlihat bahwa penggunaan tarif 1 % akan menguntungkan bagi Wajib Pajak UMKM. Seperti Penulis nyatakan sebelumnya bahwa seharusnya UMKM senang akan terbitnya PP No. 46 tahun 2013 tersebut. Lantas mengapa mereka merasa keberatan dengan model pengenaan pajak tersebut ?
Pemajakan tidak akan pernah menyenangkan bagi setiap Wajib Pajak/calon Wajib Pajak. Bahkan kalaupun tarif 0,1% dirilis, tidak akan ada yang secara sukarela berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP dan kemudian pada akhir tahun memenuhi kewajibannya untuk menyetor pajak. Faktanya, selama ini usaha yang mereka jalankan tidak pernah tersentuh oleh DJP dan bahkan DJP tidak punya kemampuan untuk menjangkaunya. Namun, ibarat peperangan, keluarnya PP tersebut membuat posisi tawar DJP menjadi semakin kuat untuk ‘mengobrak-abrik’ kenyamanan UMKM. Secara psikologis, DJP hendak mengirim pesan bahwa tidak ada alasan untuk tidak membayar pajak sebab tarif pajak sudah diturunkan jauh dari tarif normal di dalam UU PPh. Inilah sebenarnya yang dikhawatirkan oleh para UMKM bahwa DJP akan semakin aktif menebar jalanya untuk menjaring UMKM tanpa menunggu filosofi self assessment yang dianut Undang-Undang. Di sisi lain, Menteri Keuangan menyatakan bahwa kesediaan UMKM untuk membayar pajak 1% ini akan membawa UMKM ke level yang lebih tinggi dalam hal kemampuan untuk memperoleh akses ke perbankan. Pernyataan normatif ini tentu tidak seketika membuat ketakutan psikologis UMKM menurun sebab faktanya selama ini faktor yang menyebabkan UMKM kesulitan dalam mengakses pembiayaan perbankan bukan semata karena faktor NPWP dan penyetoran pajak. Jadi, pada kondisi ini UMKM akan merasa mendapat hukuman ketimbang hadiah lebih karena ketakutan psikologis bukan karena dampak hukum materiilnya.
Sekarang, mari kita contohkan perhitungan sederhana berikut ini:
1. Wajib Pajak A (Badan) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000 sehingga penghasilan kena pajak adalah Rp. 2.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun berdasar tarif pasal 17 adalah 25% x 2.000.000.000 = 500.000.000 atau jika menggunakan tarif Pasal 31E maka PPh terutang akhir tahun diestimasikan sebesar 12,5% x 2.000.000.000 = 250.000.000
2. Wajib Pajak B (Orang Pribadi) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000 sehingga penghasilan kena pajak adalah Rp. 2.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun berdasar tarif pasal 17 adalah 5% x 2.000.000.000 = 100.000.000
3. Wajib Pajak C (Badan/Orang Pribadi) mempunyai omzet Rp. 4.000.000.000 dengan biaya berdasar pembukuan Rp. 2.000.000.000. Menurut PP No. 46 tahun 2013 penghasilan kena pajak adalah 1% x Rp. 4.000.000.000 maka PPh terutang akhir tahun adalah Rp. 40.000.000.
Perhitungan di atas melengkapi contoh sebelumnya di atas memperlihatkan bahwa penerapan tarif 1% memberi dampak yang sangat menguntungkan bagi Wajib Pajak dibanding penerapan tarif umum PPh . Namun, sekali lagi, benefit ekonomi ini tetap tidak akan membuat kalangan UMKM merasa bahwa mereka telah ‘diuntungkan’ oleh pengenaan tarif yang rendah tersebut.
Pada dasarnya, DJP memang berkepentingan untuk menaikkan penerimaan pajak dari sektor UMKM yang disinyalir berjumlah 55,2 juta UMKM per Juni 2013 (data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah). Jelas ini angka kumulatif yang tidak kecil, mengingat sampai saat ini jumlah NPWP yang terdaftar baru sekitar 13-16 juta NPWP, itupun hanya 10-20% yang efektif dalam hal pembayaran pajaknya. Jika saja setiap UMKM rata-rata punya omzet harian Rp. 200.000,- atau Rp. 5.000.000/bulan, maka potensi pajak yang dapat dikumpulkan adalah 1% x 55.000.000 x 5.000.000 = Rp. 2,75 T per bulan atau Rp. 33 T/tahun. Bukan jumlah yang kecil ketika dibandingkan dengan proyeksi penerimaan pajak yang berkisar di angka Rp. 1.000 T/tahun. Jadi bagaimanapun pemerintah—dalam hal ini DJP—memang berkepentingan untuk melakukan pemajakan terhadap pelaku usaha di kelas UMKM ini.
Perasaan atau persepsi bahwa pemajakan 1 % ini adalah sesuatu yang memberatkan memang harus dihadapi dengan peka oleh DJP melalui serangkaian kebijakan dan strategi yang mampu menimbulkan efek psikologis kompensatif yang diharap mampu mereduksi kegalauan UMKM. Paling tidak UMKM tidak sepenuhnya merasa mendapat ‘hukuman’ tapi juga secara proporsional diberikan candy-nya. Hal ini sudah seharusnya dilakukan karena dari sisi makro UMKM ternyata menyumbang 57,12% dari PDB Indonesia dan memberi sumbangsih penyerapan tenaga kerja hingga 97,3% dari total tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 104,54 juta (data diolah dari berbagai sumber) Jasa UMKM terhadap bangsa ini harus diapresiasi sehingga DJP jangan hanya terkesan mau ambil untung dari kondisi masifnya UMKM.
Ruang untuk memberikan candy kepada UMKM dapat dilakukan oleh DJP dengan cara yang dimungkinkan oleh hukum formil atau hukum materiil. DJP dapat memberikan berbagai fasilitas dan pengaturan khusus yang diperuntukkan oleh UMKM dalam konteks pemajakan ini. Dalam pandangan Penulis ada beberapa ide yang bisa dimunculkan agar efek psikologis kompensatif ini muncul dan sedikit menyamankan para pelaku UMKM. Pertama, DJP dapat memberikan pengaturan bahwa bagi UMKM yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan pajak terhutangnya sejak 1 Juli 2013 tidak akan dilakukan pemeriksaan atau verifikasi untuk tahun-tahun sebelumnya dengan persyaratan menghitung sendiri pajak yang terutang sejak 5 tahun sebelum 1 Juli 2013. Kedua, bagi UMKM yang sudah memperoleh NPWP sebelum 1 Juli 2013, atas pajak yang sudah dibayar menjadi pasti besarnya dengan cara dikeluarkan ketetapan SKPN. Ketiga, penggunaan formulir pelaporan dan perhitungan pajak yang lebih sederhana dan ringkas. Keempat, terhitung sejak 1 Juli 2013 hingga batas waktu yang ditetapkan DJP, DJP tidak akan melakukan pemeriksaan terhadap UMKM dengan syarat formil yang ditetapkan misal: menjadi WP Patuh dengan jangka waktu tertentu. Kelima, membuka layanan khusus semisal KPP Khusus UMKM di setiap Kanwil agar lebih mampu mengetahui karakteristik UMKM dan lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih bernuansa UMKM, contohlah strategi BRI dalam melayani nasabah mikro di tingkat pedesaan.
Kalau DJP bisa melakukan seperti diatas, Penulis yakin UMKM akan lebih merasa ‘dimanusiakan’ sehingga harapannya dampak positif secara nasional akan terasa. Meskipun tentu saja tidak bisa sekali jadi dalam rentang waktu yang pendek.
Bagaimana menurut anda ??