Akuntansi : antara Regulasi, dan pelaku di Pemerintah
Oleh : Dudung Stheven
( Direktur Dudung Stheven R&C )
Standar
akuntansi merupakan pedoman umum atau prinsip-prinsip yang mengatur perlakukan
akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan untuk tujuan pelaporan kepada para
pengguna laporan keuangan, sedangkan prosedur akuntansi merupakan praktek
khusus yang digunakan untuk mengimplementasikan standar. Untuk memastikan
diikutinya prosedur yang telah ditetapkan, sistem akuntansi sektor publik harus
dilengkapi dengan sistem pengendalian intern atas penerimaan dan pengeluaran
dana publik.
Penetapan
standar akuntansi sangat diperlukan untuk memberikan jaminan dalam aspek
konsistensi pelaporan keuangan. Tidak adanya standar akuntansi yang memadai
akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas dan objektivitas
informasi yang disajikan, inkonsistensi dalam pelaporan keuangan serta
menyulitkan pengauditan.
Akuntansi sector
publik memiliki standar yang sedikit berbeda dengan akuntansi biasa. Karena,
akuntansi biasa belum mencakup pertanggungjawaban kepada masyarakat yang ada di
sektor publik. Ikatan Akuntansi Indonesia sebenarnya telah memasukan standar
untuk organisasi nirlaba di Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
Standar ini tercantum pada PSAK nomor 45 tentang organisasi nirlaba. Namun, standar
ini belum mengakomodasi praktik-praktik lembaga pemerintahan ataupun organisasi
nirlaba yang dimilikinya. Karna itu, pemerintah mencoba menyusun suatu standar
yang disebut dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Standar akuntansi
sektor publik juga telah diatur secara internasional. Organisasi yang merancang
standar ini adalah International Federation of Accountants-IFAC (Federasi
Auntan Internasional). Mereka membuat suatu standar akuntansi sector publik
yang disebut Internation Public Sector Accounting Standards-IPSAS ( Standar
Internasional Akuntansi Sektor Publik ). Standar ini menjadi pedoman bagi
perancangan standar akuntansi pemerintahan di setiap Negara di dunia.
Proses
penetapan dan pelaksanaan standar akuntansi sektor publik merupakan masalah
yang serius bagi praktek akuntansi, profesi akuntan, dan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Pembuatan suatu standar mungkin dapat bermanfat bagi suatu
pihak, namun dapat juga merugkan bagi pihak lain. Penentuan mekanisme yang
terbaik dalam menetapkan keseragaman standar akuntansi merupakan faktor penting
agar standar akuntansi dapat diterima pihak-pihak yang berkepentingan dan
bermanfaat bagi pengembangan akuntansi sektor publik itu sendiri.
1.
Menurut
Mardiasmo (Mardiasmo, 2004) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam
penetapan standar akuntansi, antara lain:
2.
Standar
memberikan pedoman tentang informasi yang harus disajikan dalam laporan posisi
keuangan, kinerja, dan aktivitas sebuah organisasi bagi seluruh pengguna
informasi.
3.
Standar
memberikan petunjuk dan aturan tindakan bagi auditor yang memungkinkan
pengujian secara hati-hati dan independen saat menggunakan keahlian dan
integritasnya dalam mengaudit laporan suatu organisasi serta saat membuktikan
kewajaran.
4.
Standar
memberikan petunjuk tentang data yang perlu disajikan yang berkaitan dengan
berbagai variabel yang patut dipertimbangkan dalam bidang perpajakan, regulasi,
perencanaan serta regulasi ekonomi dan peningkatan efisiensi ekonomi serta
tujuan sosial 1ainnya
5.
Standar
menghasilkan prinsip dan teori yang penting bagi seluruh pihak yang
berkepentingan dalam disiplin ilmu akuntansi.
Perkembangan Regulasi dan Standar
Akuntansi Sektor Publik
Regulasi
Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Peraturan dan
karakter pengelolaan keuangan daerah yang ada pada masa Era pra Reformasi
dapat dirincikan sebagai berikut :
1.
UU 5/1975
tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah
2.
PP 6/1975
tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD. Indikator kinerja Pemda,yaitu meliputi :
·
Perbandingan
anggaran dan realisasi
·
Perbandingan
standar dan realisasi
·
Target
prosentase fisik proyek
3.
Kepmendagri
No.900-099 tahun 1980 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah. Dalam sistem
ini, pencatatan transaksi ekonomi diperkenalkan double entry bookkeeping.
4.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2/1994 tentang Pelaksanaan APBD.
5.
UU 18/1997
tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
6.
Kepmendagri
3/1999 tentang Bentuk dan susunan Perhitungan APBD. Bentuk laporan
perhitungan APBD :
·
Perhitungan
APBD
·
Nota
Perhitungan
·
Perhitungan
Kas dan Pencocokan sisa Kas dan sisa Perhitungan (PP/1975)
Regulasi
Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Tujuan dari
regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi adalah untuk mengelola
keuangan negara/daerah menuju tata kelola yang baik Bentuk Reformasi yang ada
meliputi :
1.
Penataan
peraturan perundang-undangan;
2.
Penataan
kelembagaan;
3.
Penataan
sistem pengelolaan keuangan negara/daerah; dan
4.
Pengembangan
sumber daya manusia di bidang keuangan
Paradigma
Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Kebutuhan atas
standar akuntansu sektor publik terus berkembang akibat kedinamisan regulasi
pemerintah. Kedinamisan ini ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
reformasi keuangan.
Otonomi
daerah berlaku akibat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. UU ini menjelaskan bahwa pemerintah melaksanakan otonomi daerah dalam
rangka penyelenggaraan urusan pemeirntah yang lebih efisien, efektif, dan
bertanggun jawab. UU ini mulai berlaku sejak tahun 2001.
Lalu,
pemerintah merasa UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak lagi sesuai dengan perkembangan
yang ada. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan UU baru, yaitu :
1.
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2.
Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimabangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Undang-undang
di atas menjadikan pedoman pelaksanaan otonomi daerah lebih jelas dan
terperinci, khusunya tentang pengelolaan keuangan daerah dan
pertanggungjawaban.
Perubahan
undang-undang tersebut merupakan salah satu hal yang signifikan dalam
perkembangan otonomi daerah. Perubahan itu sendiri dilandasi oleh beberapa hal,
antara lain :
1.
Adanya
semangan desentralisasi yang menekankan pada upaya efektivitas dan efisiensi
pengelolaan sumber daya daerah.
2.
Adanya
semangat tata kelola yang baik (good governance).
3.
Adanya
konsekuensi berupa penyerahan urusan dan pendanaan ( money follows function )
yang mengatur hak dan kewajiban daerah terkait dengan keuangan daerah.
4.
Perlunya
penyelarasan dengan paket Undang-undang (UU) Keuangan Negara, yaitu UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendeharaan negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Peraturan
perundangan terus bergerak dinamis khususnya Peraturan Pemerintahan (PP)
sebagai turunan berbagai undang-undang di atas, antara lain :
1.
PP Nomor 23
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
2.
PP Nomor 24
Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
3.
PP Nomor 54
Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
4.
PP Nomor 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
5.
PP Nomor 56
Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
6.
PP Nomor 57
Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah.
7.
PP Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengeloalaan Keuangan Daerah.
8.
PP Nomor 65
Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
9.
PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
PP 71 tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005
Pada tahun
2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai
pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti
dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan
untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah
daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam
PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan Standar
Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya
mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah
berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I
berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap
entitas (strategi pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku
selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis
Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali
seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun.
Laporan
keuangan yang dihasilkan dari penerapan SAP Berbasis Akrual dimaksudkan
untuk memberi manfaat lebih baik bagi para pemangku kepentingan, baik
para pengguna maupun pemeriksa laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan
biaya yang dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip akuntansi
yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
Secara
definisi, sistem akuntansi akrual adalah suatu metode pencatatan transaksi atau
peristiwa dan pengakuan biaya (beban) berdasarkan periode terjadinya peristiwa
atau transaksi tersebut. Sedangkan menurut metode single entry atau cash basis
pencatatan dan pengakuan peristiwa dilakukan saat pembayaran dilakukan.
Dalam sistem
akrual, pencatatan biaya depresiasi suatu aset dibebankan ke periode waktu
selama suatu aset tersebut digunakan berdasarkan biaya harga pembelian aset.
Sedangkan menurut sistem akuntansi berbasis kas, biaya pengadaan aset tersebut
dibebankan ke periode saat dilakukan pembayaran atas harga aset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar