Kamis, 26 April 2018

Perkembangan Finacial Techonogi : Analisa Prespektive Maqashid As-Syar'iyah


Perkembangan Finacial Techonogi  : Analisa  Prespektive Maqashid As-Syar'iyah
Oleh : Tri Aji Pamungkas
Kordinator FoSSEI Regional Jabodetabek

Hasil gambar untuk financial technologi
Jakarta , 25 April 2018. Perkembangan industri finacial tecnology semakin mempesona pasar dan menjadi idaman bagi para pelaku pasar untuk berlomba lomba dalam mendapatkan kesempatan bisnis yang hingar binar kali ini .nilai transaksi fintech di Indonesia sepanjang tahun ini diprediksi akan mencapai 19 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 253,44 triliun.nilai yang sangat fantasic dalam dunia digital kali ini. Berbagai macam jenis fintech menghiasi pasar indonesia. ada yang bersifat P2P ada yang bersifat Crowthfunding dan berbagai jenis lainya yang memanfaatkan potensi bisnis di indonesia.
Perkembangan industri digital merupakan bagian dari revolusi ekonomi dan industri, secara tidak langsung perkembangan ini mendapatkan banyak hal yang bersifat positif dan akan menjadi negatif apabila kita tidak melakukan tanggapan atas perkembangan ini.  Sejauh ini daftar fintech yang terdaftar di otoritas jasa keuangan adalah sebanyak 36 perusahaan dan di proyeksikan akan terus bertambah. Dari segi asosiasi terdapat 134 perusahaan start up , 24 berbentuk keuangan dan 7 mitra asosiasi yang terdapat dalam asosiasi fintech di indonesia.
Kali ini kita akan membahas perkembangan fintech dan aspek maqhasid dalam perkembanganya. Setidaknya dalam prinsip ekonomi islam kita tidak akan melewatkan setidaknya 5 aspek penting tujuan syariah menurut Imam Al- Ghazali dan sebagian imam lainya menambahkan dengan aspek lainya.
Dalam pandangan islam perkembangan ekonomi,politik,sosial dan peradaban meski meninjau aspek tujuan syariah yang terkandung dalam tujuan syariah yakni menjaga Agama, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga jiwa.
Perkembangan finacial technologi meski di tanggapi positif bagi siapapun yang ingin berkembang dan meski di tanggapi secara preventive bagi regulator dan pemangku kebijakan. Berbagai penelitian terkait dengan evolusi bisnis digital akan menambah pekerjaan baru yang tidak ada sekarang dan di proyeksikan akan menggusur pekerjaan lama. Mengutip pernyataan Dr Kolapaking dari staf ahli kominfo ‘’ bahwa evolusi digital menjadi hambatan pekerjaan lama memang ia namun itu hanya gejala sementara, kedepan jika sudah terbiasa kita akan mendapatkan manfaat yang sangat besar’’.
Permasalahan sebenarnya adalah seberapa banyak pekerjaan baru yang akan datang berhasil mengakomodir manusia bekerja, dan seberapa banyak pekerjaan yang hilang dengan kuantitas objek atau orang yang termasuk di dalamnya. Permasalahan ini ada situasi kunci khususnya di industri Finacial technologi, apabila evolusi ini berjalan dengan lancar maka akan menggerus industri perbankan apabila tidak di imbangi dengan evolusi yang dilakukan perbankan.
Berkaitan dengan ini yang menjadi perhatian adalah dari kualitas pekerja indonesia  apakah bisa mengimbangi proses evolusi atau tertinggal hanya sebagai konsumen. Melihat dari berbagai kacamata tujuan syariah, perkembangan financial teknologi ini memerlukan perhatian khusu dari pemangku kebijakan untuk menjaga berbagai aspek secara pandangan islam.
Pertama , menjaga konsep penjagaan agama dan  harta baik . dalam hal ini meski jadi prioritas karena secara sistemik di pastikan harus berprinsip syariah dan terhindar dari praktik riba yang akan memebrikan jjariayah dosa kepada setiap pengguna yang ada di indonesia dan menambah buruknya iso maslahah dalam proses bisnis yang dijalankan. Selain itu dalam konsep penjagaan hara juga tidak terkecuali dari aspek bagai menjaga dan melakukan tindakan preventif terhadap resiko yang akan terjadi. Selain itu dalam aspek harta juga menjaga konsumen juga perlu di akomodir dan dijaga untuk menjadikan sustainblity bisnis dan aspek maslahah.
Kedua , menjaga konsepsi penjagaan jiwa dan akal. Dalam hal ini data dari klien khususnya konsumen perlu di lindungi dan dijadikan fokus utama dalam pengembangan bisnis basis digital. Menurut asosiasi digital australia indonesia memang memiliki pasar yang sangat besar dan potensial akan tetapi belum savety dan dapat aman melakukan kegiatan bisnis di indonesia khusunya di dunia fintech. Perlu adanya kolaborasi dan kerjasama dalam pelaksanaanya teruatama dengan adanya banyak perbedaan lankap bisnis masing- masing pengusaha fintech dan formulasinya berbeda sehingga perlu adanya perhatian khusus.
Hasil gambar untuk kamnas 2018 fossei
Terakhir aspek maslahah. Dalam aspek ini perlu dilihat secara makro kepada siapa menguntungkan bisnis digital ini ? berapa banyak pelaku usaha digital dari indonesia? dan berapa perbandinganya dari luar indonesia ? berapa banyak start up yang di akuisisi oleh asing ? berapa banyak dunia fintech yang memanfaatkan potensi indonesia ?
Dari sini kita bisa melihat kualitas dan kapasitas pelaku ekonomi di indonesia apakah cenderung sebagai konsmen atau berprilaku sebagai produsen. Apabila prodeusen apakah produsen utama atau produsen pembantu. Meningkatnya nilai produksi barang di suatu negara adalah prestasi bagi suatau bangsa bernilai produktif tinggal bagaimana cara distribusi dan menjadikan barang atau jasa itu laku di pasaran dan pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan tersebut. Tingkat PDB indonesia masih di dominasi oleh transaksi barang fosil yang itu akanpunah di kemudian hari , sedangkan potensi indonesia lebih dari apa yang dibayangkan . hadirnya industri fintech meski menyetuh sisi-sisi yang tidak bisa di jangkau betul oleh perbankan dan tetap menjaga resiko dengan baik untuk satabilitas keuangan secara nasional. Dan hadirnya skematik syariah dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam melakukan kegiatan ekonomi dan menjadi aspek solutif dalam kemaslahatan ekonomi, secara harfiah ekonomi dengan prinsip islam adalah satu-satunya sistem yang solutif dalam permasalahan ekonomi indonesia. kehalalan sebuah sistem merupakan bagian terpenting dalam kegiatan ekonomi. Semoga kedepan ekonomi kita menjadi ekonomi halal.

#BeraniHalal
#HalalkanEkonomiIndonesia
#Kamnas2018 



Rabu, 25 April 2018

Accounting Treatment of Zakah: Additional Evidence from AAOIFI

Accounting Treatment of Zakah: Additional Evidence from AAOIFI
 Dr. Adel Mohammed Sarea


Hasil gambar untuk auditing syariah           The most important results of the previous studies are confirmed that, Zakah can eliminate poverty in Muslim countries and achieve the desired justice in the distribution of income and wealth (Abdelbaki, 2013). Zakah is essential as a social welfare levy imposed to Islamic society’s wealthier members and more prosperous businesses and thus helps to close the gap between the poor and the rich (Awang&Abdul Rahman, 2003).
                 However, Zakah has been identified as an important source to the economy of the Muslim community and give an impact on socio-economy development of nation (Ibrahim et al., 2013). According to Shari’ah principles, Zakah is an obligation in respect of funds paid for a specified type of purpose and for specified categories. It is a specified amount prescribed by Allah the Almighty for those who are entitled toZakah as specified in the Qur’an. The word Zakah is also used to indicate the amount paid from the funds that are subjected to Zakah (AAOIFI, 2010).
                Furthermore, Zakah also is fundamental to every Muslim as well as Zakah is the Islamic contribution to social justice (Dahr and Akhan, 2010). However, Zakah is an obligation, prescribed by Allah S.W.T with the ultimate goal as a form of social security, to develop balanced economic growth through redistribution of wealth in society (Abdul Aziz and Abdullah, 2013). Historically, although in early Islamic states, Zakah funds were collected and managed by the state (Hassan, 2010). Zakah management has gone through historical challenges after the extinction of early Islamic states. 
            After the colonial era, a few Muslim countries such as Yemen, Saudi Arabia, Libya, Sudan, Pakistan, and Malaysia have opted for mandatory Zakah management through government (Hassan, 2010). Other countries such as Egypt, Jordan, Kuwait, Iran, Bangladesh, Bahrain and Iraq, have formed specialized state institutions but participation of public is made voluntary (Hassan, 2010).
    Due to the absence of authorities to implement accounting standards for Islamic financial institutions, IFIs are currently applying different accounting standards in their financial reporting (Sarea& Hanefah, 2013). In addition, Due to the current different regulatory requirements and legislations, the relevance and comparability of financial statements are the foundations upon which accounting standards are predicated. Thus, diversities exist in terms of their class structure, political systems, legal systems, financial systems, educational systems, and the very nature of conducting business and business ownership (Choi and Meek, 2005).
        In related study, Lovett (2002) documented that, with financial statements prepared under different accounting standards a problem may exist in: 
      Comparability of financial statements prepared globally, Reliability and creditability. Islamic financial institutions prepare their financial statements using a number of accounting standards either international accounting standards or local accounting standards, the problem may exist in the practices and the level of understanding among accountants and the level of compliance (Report, KPMG and ACCA, 2010).
       Accordingly, the need for accounting standards for Islamic financial institutions may possibly be the right way to resolve these issues. In this regard, according to Sarea& Hanefah (2013) as quoted from Maali and Napier (2010) due to unique transactions of Islamic financial institutions, conventional accounting rules such as the International Financial Reporting Standards are not compatible to Islamic banks. Thus, the need to develop and apply the accounting standards related to Zakah may reduce any differences in the methods of treatment applied by IFIs. 
         Therefore, the researcher reviewing many of the previous studies in order to discuss these issues, many initiatives have been taken to facilitate Zakah collection and distributions. For instance, the AAOIFI organizations has been recognized and mandated to develop accounting, auditing, governance and ethics standards in order to promote comparable and reliable accounting information. The formulation and adoption of AAOIFI standards in any country is intended to increase foreign investment as well as investor’s confidence. These standards are set up to produce financial statements that are transparent in their preparation and easily interpretable by users (Sarea & Hanefah (2013) as quoted from (Karim, 2001).

                        The objective of this study is to determine the accounting treatment of Zakah according to the requirements of AAOIFI FAS 9. The importance of Zakah as a source of financing to payout the eight categorizes as mentioned in the Quran. Allah S.W.T says,“Take sadaqah (obligatory alms) out of their wealth through which you may cleanse and purify them" [al-Tawbah: 103]. However, the researcher reviewsthe requirements of AAOIFI FAS 9 in terms of three elements: 1. Recognitions: to discuss the basic principles that determines the timing of revenue, expense, gain and loss. 2. Measurements: to discuss the principles that determine the amount at which assets, liabilities, owners equity are recognized 3. Disclosures: all information should be available for all users.
Accordingly, data were collected from AAOIFI FAS 9 (recognitions, measurements and disclosures) and literature review in order to answer the research question.
         The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), a private standard setting body, was established by the Islamic banks and other interested parties to prepare and promulgate accounting, auditing and governance standards based on the Shari’ah precepts for Islamic financial institutions (Sarea & Hanefah, 2013) as quoted from(Karim, 2001). Background of the standard: The standard for Zakah was adopted by the Accounting and Auditing Standards Board in its meeting No. 15 held on 27-28 Safar, 1419H corresponding to 21-22 June, 1998 and shall be effective for financial statements for fiscal periods beginning 1 Muharram 1420 H or 1 January 1999. This standard aims to set out accounting rules for the treatments related to the determination of the Zakah base. Thus, it is expected that the standardization in the methods applied would help to provide useful information to the users of the financial reports, The AAOIFI FAS 9 covers the accounting treatments related to zakah base and disclosure of zakah (AAOIFI, 2010). AAOIFI FAS No.9 consist of 21 paragraphs that describe measurements, recognition, and disclosure requirements, as well as setting out accounting rules for the treatments related to the determination of the Zakah base and measurement of items included in the Zakah base and disclosure of Zakah in the financial statements of the Islamic banks and financial Institutions (AAOIFI, 2008). 
In reference to the AAOIFI FAS 9 (Para 9, 10 & 11), there are two scenarios to explain the payment of Zakah. The first scenario in case the Islamic bank is obliged to pay zakah and the second scenario in case the Islamic bank is not obliged to pay zakah: 4.1.1: The First Scenario In any of the following cases, zakah shall be treated as a (non-operating) expense of the Islamic bank and shall be included in the determination of net income in the income statement: (a) When the law requires the Islamic bank to satisfy the zakah obligation. (b) When the Islamic bank is required by its charter or by-laws to satisfy the zakah obligation. (c) When the general assembly of shareholders has passed a resolution requiring the Islamic bank to satisfy the zakah obligation. In para (9), unpaid zakah shall be treated as a liability and presented in the liabilities section in the statement of financial position of the Islamic bank (AAOIFI, 2008). 4.1.2: The Second Scenario (a) In case some or all of the shareholders ask the Islamic bank to act as agent in meeting the zakah obligation relating to their investment in the Islamic bank from their share of distributable profits, the zakah shall be deducted from the shareholders’ share of distributable profits (para 10). (b) In case some or all the shareholders ask the Islamic bank to act as agent in meeting their zakah obligation and the Islamic bank agrees to do so even if there are insufficient distributable profits to meet the shareholders’ obligations, the amount paid by the Islamic banks shall be recorded as a receivable due from these shareholders (para 11).

                This research attempts to discuss the accounting treatment of zakah by focusing on the recognitions, measurements and disclosures of zakahaccording to the AAOIFI (FAS No.9). This research may be considered as additional evidence to determine the accounting treatment of zakah.Therefore, this research contributes to a better understanding of zakahconcept and willing to deal with the requirements of recognitions, measurements and disclosures of financial reporting and become a useful tool to meet the various needs of IFIs. The findings seem to demonstrate that, the accounting treatment of zakahaccording to AAOIFI (FAS No. 9)could contribute to have more transparency of financial reporting. In other words, the financial statements will be more transparent and easily comparable. This paper concludes with some recommendations in order to improve the quality of transparency of financial reporting as well as to example of main differences between domestic accounting standards and the AAOIFI accounting standards.
  

Student Loan dalam Prespective Islam


Student Loan dalam Prespective Islam dan tantanganya di Indonesia 
Solusi atau masalah ???

Oleh : Tri Aji Pamungkas
Kordinator FoSSEI Regional Jabodetabek dan Penerima Beswan Baituzzakah Pertamina


Hasil gambar untuk Student Loan
                 
 Berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.
Namun demikian, jumlah ini masih tak sebanding dengan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di tanah air. APK Indonesia berada di kisaran 31,5 persen. Berdasarkan data badan pusat statistik per 2017 angka mahasiswa di seluruh ndonesia baik perguruan tungi swasta atau perguruan tinggi negeri mencapai 5,9 juta atau kira-kira mencapai 2,2% dari jumlah penduduk di indonesia sedangkan angka partisipasi di negara malaysia mencapai 35%. Pemerintah berdaya upaya dalam melakukan subsidi pendidikan namun itu bukan solusi dalam rangka perbaikan pendidikan yang utama ternyata.
Dengan dalih peningkatan kapasitas partisipasi pendidikan dan peningkatan inklusifitas perbankan maka student loan di berbagai kampus dijadikan triger perbaikan pendidikan di indonesia. Lantas apakah student loan itu solusi atau masalah ?
Dalam mengatasi masalah maka yang harus dilihat paling utama adalah akar dari permasalahan. Akar dari permasalahan merupakan bagian utama yang harus diperhatikan dalam penyelesaian masalah pendidikan di indonesia kali ini, apabila membandingkan kualitas pendidikan di indonesia dengan negara lain sangat memprihatinkan. Mari kita jawab pertanyaan sederhana dari penulis.
Dengan menempuh pendidikan 6 tahun di sekolah dasar atau sederajat pekerjaan apa yang di dapat lulusan tersebut ???
Lanjut kembali dengan tambahan waktu 3 tahun untuk sekolah lantas pekerjaan apa kira kira di lapangan ???
Lanjut kembali di tambah tambahan waktu 3 tahun juga menempuh sekolah menengah atas atau kejuruan pekerjaan apa yang listing di indonesia ????
Di tambah kembali dengan menambah waktu untuk kuliah tiga tahun atau 4 tahun pekerjaan apa yang listing di indonesia ????
Tambah kembali menjadi magister lantas pekerjaan apa yang di dapatkan ???
Tambah lagi menjadi doktor lantas pekerjaan apa yang di dapat ??

Mari kita bandingkan dengan sistem partisipatif di arab saudi dimana usia 3 tahun setiap siswa sudah hafal Al-quran, tambah tiga tahun hafal hadist tambah selanjutnya pelajari ummul quran selanjutnya ummul hadist , ilmu pengetahuan basicly islam dan selanjutnya sampai tiada batas.
Mari kita lihat di china lulus sd dan smp bisa buat handphone, lulus selanjutnya buat kendaraan motor dan mobil selanjutnya penjurusan apakah pesawat atau industri lainya.
Dua sistemik sederhana namun sesuai dengan alur pergerakan negara nya yang satu arah ideologis lebih tinggi yang satu arah perkembangan dan pengembangan industri.
Sebelum membahas secara aspek syariah mari kita lihat praktik student loan yang sudah terjadi di UK . dalam praktiknya di negeri britania sendiri memberikan student loan dengan nilai rata-rata yang berbeda-beda namun secara platfond peminjam atau mahasiswa boleh membayar setelah mendapatkan penghasilan sebesar 16000 euro atau sekitar 320jt an dalan setahun atau jika di jumlahkan sekitar 26,6 juta penghasilan nya dalam sebulan. Di indonesia sendiri penghasilan rata rata fresh tidak lebih dari 5jt dalam sebulan. Asas dalam pinjaman mahasiswa ini adalah ketika mahasiswa mendapatkan penghasilan dengan nilai tertentu maka bisa di bayarkan. Apabila tidak memenuhi syarat maka tidak harus membayar, apabila jatuh sakit dan meninggal maka lunas semua utang dan di cover oleh kementrian terkait di UK. Meskipun secara prinsip masih teap menggunakan sistem konvensional setidak nya secara aspek maslahah di UK Syaikh Al-Haitami mengatakan di perbolehkan di UK dengan kondisi demikian.
Melihat kejadian dan peristiwa di indonesia spertinya sangat kurang jauh jika ingin menyelesaikan permasalahan sesungguhnya dalam dunia pendidikan. Yang harus di lakukan adalah bagaimana mengatur dan mengelola pendidikan sebegai sumber kekayaan negara dan menjadi nilai investasi negara dalam jangka panajang dengan mengatur dan menjaga segala bentuk sistem yang baik dan dapat memebrikan pendidikan sebenarnya kepada khalayak.
Hasil gambar untuk Student Loan Argumen kunci nya kebolehan student loan di UK adalah fakta bahwa uang yang dibayarkan oleh siswa hanya didasarkan pada penghasilan. Ini mungkin argumen terkuat untuk diperbolehkannya 'pinjaman' siswa, dan harus membuatnya sangat jelas bahwa itu bukan pinjaman yang memenuhi persyaratan dalam syariat.
Berikut ini menjelaskan ini:
Jika anda berhutang budi pada siswa sebesar £ 50.000, maka anda tidak perlu mengembalikan apa pun sampai anda mendapat gaji minimal £ 21.000 per tahun. Ini terlepas dari apakah anda memiliki cukup uang untuk membayar ‘pinjaman’ atau tidak.
Ini berarti bahwa jika anda diberi £ 1 miliar sebagai hadiah atau warisan dari kerabat dekat misalnya, maka anda masih tidak diharuskan membayar satu sen pun kembali ke keuangan siswa karena mereka hanya mengenakan biaya atas penghasilan anda. Ini berarti secara teoritis anda bisa menjadi jutawan dan anda tidak perlu membayar kembali satu sen. Karena perjanjian tersebut mewajibkan pembayaran gaji Anda dan sebagainya saja, tidak semua jenis uang yang anda miliki.
Ini tentu saja bertentangan dengan semua jenis pinjaman yang disepakati dalam Syariah. Karena siapa pun yang memungkinkan anda meminjam uang dari mereka, mengharapkan anda mengembalikannya ketika anda memilikinya lagi. Anda tidak dapat membalas dengan mengklaim bahwa anda hanya akan membayar kembali jika anda mendapatkan jumlah tertentu, karena itu bukan cara kerja pinjaman. Melakukan hal itu akan menjadi dosa tanpa keraguan. Bahkan, bahkan jika ketika meminjam uang, Anda berkata: ‘Saya akan membayar anda kembali ketika saya menghasilkan lagi’, anda akan diharuskan membayar kembali pinjaman jika anda memiliki uang, terlepas dari mana uang itu berasal. Ini karena anda hanya menyebutkan gaji dengan asumsi bahwa itu akan menjadi satu-satunya sumber penghasilan anda. Namun, semua orang tahu, bahwa jika anda memiliki jutaan, anda diharapkan untuk membayar, meskipun itu dari selain gaji.
           Perlu di pikirkan kembali sistemik perbankan nasional di indonesia apabila dilakukan kegiatan serupa, secara sistemik student loan tidak bisa di aplikasikan secara komprehensif di perbankan konvensional di indonesia. apabila di lakukan di perbankan konvensional selain dari menjerumuskan dari aspek riba dan gharar serta maisyir yang akan mengurangi indeks masalahah dalam pendidikan itu sendiri. kemudian apabila hal ini dilakukan di bank syariah mungkin masih bisa di akomodir dalam pembiayaan qardul hasan. akan tetapi qardul hasan bank syariah tidak bisa menampung lebih banyak mengingat basicly qordul hasan adalah seperti  dunia filantropy yang cenderung tidak ada kewajiban waktu atas pengembalian dan tidak bersifat memaksa. selain itu dalam pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi  pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash t).

secara rasional dalam peningkatan kapasitas pendidikan di indonesia pemerintah bisa mengakomodir dan memaksimalkan dana corporate social responsibilty untuk aspek pendidikan. mari amati undang undang no 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas dimana pelaporan  CSR dilakukan secara siapa saja yang melaksanakan dan siapa yang tidak secara langsung tidak ada tindakan lebih. apabila di manfaatkan dengan baik dimana dalih setiap perusahaan membuat yayasan atau membuat lembaga pendidikan di bawahnya sebagai bagian untuk akomodir CSR perusahaanya. padahal, secara faktual pemanfaatanya meski dilakukanseluas-luasnya untuk masyarakat. 
Kembali lagi ke indonesia student loan ini meski di pertimbangan dari aspek maslahah dan mursalahnya, logica berfikir daam hal ini adalah apabila dengan subsidi pemerintah dan lembaga lainya saja terkait pendidikan ini minat dan partisipasi pemuda atau masyarakat akan pendidikan kurang apalagi dengan adanya fasilitas kredit. Masyrakat memerlukan ruang pendidikan yang nyaman, aman dan bersifat partisifatif sesuai dengan karakteristik keinginan masyarakat atau sesuai dengan potensial calon didik. Sedangkan pendidikan di indonesia terkenal dengan kesan menyeramkan dan bersifat dogma dan doktrin baik dari aspek ideologis atau dari aspek politik sudah saat nya menciptakan pendidikan di indoensia dengan suasana ilmiah dan mengedepankan partisipasi potensialitas anak bangsa.



Selasa, 24 April 2018

Kebangkitan Zakat( filantropy) : Antara kebangkitan Civil Society Sistem di indonesia dan awal mula runtuhnya Hegemoni komunis-Imprealis- kapitaslis


Kebangkitan Zakat( filantropy) : Antara  kebangkitan Civil Society Sistem di indonesia dan  awal mula runtuhnya Hegemoni komunis-Imprealis- kapitaslis
Oleh : Tri Aji Pamungkas
Kordinator FoSSEI Regional Jabodetabek dan Penerima Beswan Baituzakah Pertamina


Hasil gambar untuk kebangkitan zakat bazma               Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,”Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar,”Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri dalam usman 2003.46.
Tidak bisa disangkal Sistem politik ekonomi Barat adalah sistem rusak, baik politik ekonomi dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan ekonominya hanya menonjolkan pertimbangan materi.
 Tak jauh berbeda dengan Sistem ekonomi kapitalisme yang didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan konvensional, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut.
Sedangkan Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam.
Salah satu bukti kebangkitan ekonomi islam adalah dengan adanya semangat flantropy baik zakat, infaq sedekah dan wakaf. Baik yang bersifat produktif atau yang bersifat kebutuhan utama. Dan uniknya dalam perkembangan dunia zakat di bangun dari civil society power bukan dari pemerintah. Sampai saat ini setidaknya ada 560 lembaga zakat yang terdaftar di Badan amil zakat dan direktorat jendral pemberdayaan zakat infaq sedekah dan wakaf, hampir di setiap wilayah regional indonesia memiliki badan amil zakat. Dan kekuatan lembaga zakat saat ini di proyeksikan oleh badan amil zakat nasional memiliki potensi 286 triliun rupiah atau hampir setara dengan 3 anggaran tahunan kementrian di indonesia.
Kekuatan filantropy islam menunjukan adanya eksistensi civil society ke permukaan dan menunjukan bahwa masyarakat memiliki keuatan secara finacial apabila melakukan konsolidasi dan menyatukan kekuatan publik menjadi sebuah lawan kuat dari hegemoni imperialis,komunis dan kapitakis yang selama ini membayangi perekonomia di indonesia.
Dalam berbagai diskusi tentang pentingnya dan peran filantropy islam dalam pembangunan ekonomi bangsa sangat di harapkan dapat memberikan efek positif terhadap perbaikan ekonomi umat yang salah satunya dari zakat. Zakat menjadi role model dalam perbaikan ekonomi umat yang komprehensif karena secara sistem Alquran seudah memberikan acuan dan jobdesk penting terhadap target pemanfaatan dana zakat dan itu merupakan bagian dari target pemerintah juga dalam mengentaskan kestabilan sosial di masyarakat.
Menjaga melindungi kepercayaan masyarakat terhadap dunia filantropy adalah tugas penting bagi lembaga untuk menjadikan sebuah tatanan lembaga yang baik dan bernilai transparan untuk menjaga sustainblitas lembaga.
Bangkitanya dunia zakat atau filantropy islam merupakan bagian dari meningkatnya kepercayaan masyarakat dan beralihnya kepercayaan publik terhadap islam dan awal mula runtuhnya sistem kapitalis dalam kegiatan ekonomi di indonesia. Namun patut di waspadai bebrapa hal kebijakan pemerintah yang tidak memihak terhadap kekuatan civil society akan menimbulkan cambukan bagi kebangkitan ekonomi islam khusunya dalam hal ini zakat. Sebagai salah satu contoh yang mungkin perlu di perjuangkan adalah sinergitas undang-undang pajak dengan undang-undang zakat dalam hal ini ada beberapa poin yang perlu di harmoniskan terutama dalam memberikan intensif bagi setiap masyarakat untuk berbuat kebaikan.

Gaya kepemimpinan Presiden, Kinerja Pasar dan efek nya dalam persaingan Global


Gaya kepemimpinan Presiden,  Kinerja Pasar dan efek nya dalam persaingan Global
Oleh : Tri Aji Pamungkas Al-Azhary
(Cordinator FoSSEI Regional Jabodetabek )


Hasil gambar untuk gaya kepemimpinan SBY JOKOWI         Jakarta , 24 April 2018, indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 5% dalam 3 tahun terakhir. Meskipun tumbuh sebetulnya masih kalah dengan negara Laos, Kamboja , Philipina dan Vietnam dalam masalah pertumbuhan. Dari 10 negara di Asean indonesia menempati posisi ke 7 dalam pertumbuhan ekonomi wilayah, hal ini tentu sangat disayangkan disamping potensi pertumbuhan indonesia yang diperkirakan melambung tidak dimanfaatkan pemerintah.
            Apabila dilihat dari historical pertumbuhan ekonomi jauh menurun di banding dengan era kepemimpinan sebelumnya, daya beli dan kebutuhan serta gaya kinerja pasar juga memiliki titik jenuh di era kepemimpinan presiden Jokowi berdasarkan pengamatan dan observasi pasar rata-rata.
Ada beberapa hal subtansial yang harus dimiliki oleh seoarang pemimpin negara dalam menunjukan kestabilan pasar dan kestabilan sosial. Bebrapa hal yang unik dibahas dalam hal ini ketika era kepemimpinan Presiden SBY yang memiliki karismatik dan gaya bicara elegan dalam mengatasi kondisi tertentu sangat memberikan efek positif kepada kondisi pasar saat itu dengan pertumbuhan rata-rata 5,94% meskipun di tahun 2009 mengalami kondisi yang sangat buruk dalam ekonomi namun pasar dibuat enjoy dan merasakan ketentraman karena ada kepastian pasar dan stabilitas komunikasi politik yang sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan alasan pasar. Hal ini yang menyebabkan kita bisa melewati krisis 2008-2009 dengan santai tanpa merasa ada krisis sedangkan dibelahan negar lain mengalami guncangan yang baik.
            Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada era kepemimpinanya tanpa ada penilaian subjektif dari penulis. Kondisi pasar dibuat memiliki stigma negatif dengan adanya beberapa pernyataan dan komunikasi pemimpin negara terkait dengan kebijakan. Beberapa hal terkait dengan adanya kejadian peraturan menteri perdagangan, meneteri perekonomian dan peraturan launya yang cenderung pemimpin acuh tak acuh dan seperti tidak mengatuhui serta sikap seperti membiarkan kebijakan tanpa adanya koordinasi. Secara tidak langsung hal ini memberikan paradigma pasar terutama dunia investasi sangat khawatir terhadap kondisi pasar di indonesia dan hanya sebagian yang mengganggap baik dalam hal ini.
            Bagaimanapun dalam hal ini gaya kepemimpinan dan sikap seorang pemangku kebijakan akan memberikan dampak positif dan negatif pada kondisi pasar. Kebijakan pemerintah yang diawali dengan image buruk akan merembet pada kebijakan lain dan akan membuat stigma buruk pada masyarakat.
Dalam praktiknya kegiatan pasar seorang pemimpin mampu memberikan kebaikan dalam melakukan kolaborasi perbaikan pasar dalam negeri. Selain itu seorang pemimpin mampu mebrikan citra positif dan menjaga stabilitas negara dengan sikap dan kebijakan yang memiliki kebermanfaatan lebih terhadap masyarakat yang ada di indonesia. Sebuah kebijakan yang menarik yang dilakukan di era kerajaan sultan abu ja’far al mansur di era  abbasiyah dengan memperhatikan track record dan memperhatikan kekuatan penduduk yang ada mampu melangkah jauh dibanding dengan kerajaan existing pada saat itu.
Kebijakan partisipatif dan freindlyship pemerintah seharusnya di dasarkan pada aspek kemaslahatan masyarakat banyak dan meikirkan seluruh komponen masyarakat. sangat di sayangkan apabila kebijakan hanya di dasarkan pada aspek besaran masyarakat yang memiliki harta maka kondisi negara dengan sendirinya mendekati sikap neokolonialisme dengan sistem ekonomi sebagai salah satu jembatanya.

Mahabbah

 Cinta itu  laksana sebuah perang,  amat mudah mengobarkannya,  namun amat sulit untuk memadamkannya   Ketika kita mencintai,  perasaan kita...